Selasa, 14 Juni 2011

Perkembangan Gerakan Ahmadiyah dan Kontribusinya dalam Memajukan Peradaban Islam di Indonesia

Perkembangan Gerakan Ahmadiyah dan Kontribusinya dalam Memajukan Peradaban Islam di Indonesia

Oleh Sumarno S.Pd.I

                                                    I.  Pendahuluan

A.  Latar Belakang

Seperti diketahui, kebangkitan Islam dimulai sejak pertengahan akhir abad ke-19 dan mengkristal dalam wujud semaraknya gerakan Islam pada permulaan abad ke-20 sampai saat ini. Dari berbagai bentuk gerakan Islam, ada gerakan-gerakan yang menekankan aspek Islam tertentu atau menekankan kehidupan duniawi dari individu-individu atau masyarakat Islam. Gerakan Islam dalam pengertian tersebut, misalnya Mu’tazilah dan Asy’ariyah.
Secara tipologis, ada juga gerakan-gerakan puritanis dan fundamentalis Islam. Dalam bidang politik, ada gerakan Negara Islam.Dalam bidang ekonomi ada gerakan antimonopoli tembakau dan gerakan Islam dalam nasionalisme minyak di Iran sekitar tahun 1950. Gerakan Islam dapat pula berupa gerakan pembebasan, seperti gerakan rakyat Afganishtan, Aljazair, dan Kashmir. Semua itu dipandang sebagai gerakan yang muncul karena dipengaruhi Islam dan merupakan bagian-bagian dari seluruh gerakan yang berkesinambungan.
Dalam kaitannya dengan gerakan-gerakan Islam di India, Wilfred C.Smith memasukkan Mirza Ghulam Ahmad dengan gerakan Ahmadiyahnya ke dalam gerakan teologi. Akan tetapi, Gibb cenderung memasukkannya ke dalam gerakan  tidak begitu dominan di dunia Islam. Aspek Intelektual Ahmadiyah ini hanya sedikit artinya sebagai pembawa tafsiran-tafsiran Islam yang bersifat liberal.
Sebagaimana pemikir Islam lainnya, Mizra Gulam Ahmad berusaha memperbaiki keadaan umat Islam India melelui perubahan pola pikir dalam memahami agama Islam yang disesuaikan dengan perubahan zaman. Dibandingkan dengan Akhmad Khan dan Amir Ali yang terlalu rasional bagi zamannya, pikiran-pikiran Mirza Ghulam Ahmad, menurut B.J Esser, dapat  memuaskan emosi keagamaan sebagai umat Islam India.
Ahmadiyah merupakan gerakan Islam yang berpusat di India. Gerakan ini menekankan aspek-aspek ideologis-eskatologis karena gerakan ini bersifat mahdiistik dengan keyakinan bahwa al-Mahdi dipandang sebagai”Hakim Peng-islah”atau sebagai”Juru Damai”. Menurut keyakinannya, al-Mahdi mempunyai tugas untuk mempersatukan kembali perpecahan umat Islam, baik di bidang akidah maupun syari’ah.Ahmadiyah berharap umat Islam bersatu kembali seperti pada zaman Nabi Muhammad Saw. Lebih dari itum al-Mahdi juga diyakini bertujuan mempersatukan kembali semua agama, terutama agama Nashrani dan Hindu, agar melebur ke dalam Islam.
Paham al-Mahdi, sebagaimana diketahui, adalah ajaran yang meyakini adanya juru selamat atau messiah bagi umat Islam yang tertindas akibat merajalelanya kezaliman penguasa. Tokoh penyelamat tersebut dikenal sebagai “al-Mahdi yang Dijanjikan”. Paham milenaristik ini juga pernah muncul di Indonesia sekitar abad ke-19 dan ke-20 M., khususnya di Jawa, pada masa pemerintahan colonial Belanda.Tokoh gerakan tersebut dikenal masyarakat Jawa dengan nama”Ratu Adil”. Dengan demikian, mahdiisme merupakan tradisi gerakan Islam meskipun ditandai denagn coarak yang berbeda-beda. Contoh gerakan berciri mahdiisme ini seperti yang ada pada gerakan Syi’ah. Demikian juga dengan gerakan Mahdi di Sudan antikolonialisme.
Dalam konteks ke Indonesiaan, Ahmadiyah sebagai organisasi keagamaan dapat digolongkan ke dalam aliran pemikiran dan gerakan. Ahmadiyah masuk ke Indonesia mulai abad ke-20. Ahmadiyah di Indonesia sampai saat ini masih tetap eksis walaupun pendukungnya tidak sebanyak Muhamadiyah atau Nahdlatul Ulama.
Terlepas apakah seseorang bersimpati atau terhadap Ahmadiyah-yang tampaknya karena alas an teologis atau karena gerakannya-Ahmadiyah mulai berkembang, khususnya di lingkungan perguruan tinggi. Setidaknya ada sumbangan yang diberikan Ahmadiyah, seperti pemanfatan media elektronik berupa pendirian TV Muslim yang berpusat di London untuk kepentingan dakwah Islamiyah yang berskala Internasional. Ahmadiyah juga telah memberikan contoh dalam kegiatan dakwah, termasuk pembinaan organisasinya yang bersifat mandiri tanpa bantuan dana dari luar sedikitpun, termasuk dari pemerintah. Dana itu hanya diperoleh dari anggota sendiri dengan system Chandah.
Tafsir Al-Quran gerakan ini, khususnya tafsir Al-Quran Ahmadi-yah Qadian, telah diterjemahkan ke dalam 64 bahasa di seluruh dunia. Di Indonesia tafsir itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Sunda, dan Jawa. Hal senada juga dilakukan Ahmadiyah Lahore di Indonesia. Tidak berlebihan jika pada era reformasi ini organisasi-organisasi Islam lain di Indonesia juga dapat memberikan sumbangan seperti itu.
Buku ini menganggap secara objektif Ahmadiyah sebagai pemikiran dan gerakan dalam konteks perkembangan gerakan Islam secara keseluruhan di Indonesia. Buku ini juga mencoba mendeskripsikan proses-proses dan kenyataan Ahmadiyah sebagai pemikir dan gerakan, sekaligus menyajikan reaksi organisasi-organisasi Islam lain terhadap Ahmadiyah. Dengan terbitnya makalah ini berarti Ahmadiyah mulai diperkenalkan dalam kancah perdebatan ilmiah dan bukan lagi sekadar perdebatan wacana.
Searah dengan itu, masih banyak pemikiran dan gerakan keislaman lain yang patut diteliti secara objektif dan elegan tanpa dibebani stereotip-stereotip tertentu. Dengan diterbitkannnya tulisan semacam ini, dapat dipastikan akan terbentuk gambaran yang lebih menyeluruh dan utuh tentang pemikiran dan gerakan keislaman  di Indonesia. Hal itu tentu saja akan memperkaya khazanah kesejarahan, khususnya sejarah Islam di Indonesia. Dalam konteks itu, karya ini telah memberikan kontribusi bagi pengembangan sejarah pemikiran dan gerakan keislaman di Indonesia.

B.       Rumusan Masalah

a)                  Mengapa banyak bermunculan gerakan pembaharuan Islam di Indonesia?
b)                  Bagaimana gerakan Ahmadiyah dapat tumbuh dan berkembang di Indonesia?
c)                  Sejauh mana peranan gerakan Ahmadiyah rehadap pembaharuan Islam di Indonesia dan kontribusinya dalam memajukan peradaban Islam.
d)                 Karakteristik Ahmadiyah dan reaksi Masyarakat Indonesia.
e)                  Gerakan Ahmadiyah dalam menghadapi gejola di masyarakat.
f)                  Pemecahan Masalah

II.        Pembahasan

A.                Sebab-sebab banyak bermunculan gerakan pembaharuan Islam di Indonesia.

1.                              Gerakan Pembaruan di Indonesia

Gerakan pembaruan di Indonesia telah dimulai semenjak abad ke-19 ketika Haji Miskin dan kawan-kawannya pulang dari Makah dengan membawa paham permurnian agama. Paham yang mereka bawa akahirnya menimbulkan gerakan Wahabi di Minangkabau. Gerakan itu diikuti oleh gerakan kaum muda di tempat yang sama dengan tokoh-tokoh yang muncul, seperti . Syaikh Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdul Karim AmrullaH, Haji Abdullah Ahmad pada awal abad ke-20. Di Jawa semangat yang sama terlihat pada diri Haji Samanhudi, Haji Omar Said Tjokroaminoto, dan Kiai Haji Ahmad Dahlan. Terkait dengan timbulnya pembaruan Islam di Indonesia tersebut khususnya di Jawa, A. Mukti Ali melihat dari lima faktor yang saling terkait yaitu : [1] tidak bersih dan campur aduknya kehidupan Islam di Indonesia; [2] tidak efesiennya lembaga-lembaga pendidikan agama; [3] adanya aktivitas misi Katolik dan zeding Protestan; [4] sikap golongan intelektual yang acuh tak acuh dan merendahkan Islam; dan; [5] buruknya keadaan politik ekonomi dan sosial-dampak kondisi Indonesia sebagai negeri jajahan.
Faktor pertama yang dilihat A. Mukti Ali sebagai latar belakang timbulnya gerakan pembaruan Islam di Indonesia berkaitan erat dengan proses penyebaran Islam di kepulauan ini yang tidak langsung dari negeri asalnya, melainkan melalui satu bentuk kebudayaan yang kurang lebih sama dengan kebudayaan yang ada di Indonesia dan beradaptasi dengannya. Akibatnya Islam di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, mempunyai sifat yang sinkretik dengan mencapur adukkan elemen yang bukan Islam, baik yang sesuai atau bahkan bertentangan sama sekali dengan asli agama Islam. Dari satu segi, proses ini membuat Islam mudah diterima oleh penduduk yang telah mengenal budaya sinkretik tersebut. Namun di sisi lain, proses tersebut membawa Islam ke dalam sifat statis, tidak kreatif dan kurang terbuka untuk berdialog dengan kenyataan sosial yang melingkupinya.
Kesadaran akan kejumudan Islam tersebut semakin diperbesar dengan tidak efesiennya lembaga-lembaga pendidikan agama yang ada ketika dihadapkan antara diri sendiri dan kegiatan pihak lain-pemerintah Belanda, kelompok intelektual baru Indonesia maupun misi Katolik dan zeding Protestan dalam segala kehidupan sosial kemasyarakatan. Sementara, menurut Dr. Alfian, timbulnya gerakan pembaruan dalam Islam adalah sebagai reaksi langsung terhadap dekadensi Islam sebagai agama dan keterbelakangan para pemeluknya.[1]
Keadaan di atas dipercepat dengan adanya pengaruh dari luar negeri. Semenjak pertengahan abad ke-18, agama Islam secara bertahap meninggalkan sifat-sifatnya yang sinkretik karena terpotongnya hubungan dengan sufisme India dan tidak lagi terkungkung oleh Belanda sebagaman kerajaan Mataram. Bahkan, sekarang Islam mengambil kekuatan dari hubungannya dengan Makah. Banyaknya haji yang bermukim di Makah dan para muqimin, masuknya orang-orang Hadramaut ke Indonesia telah meningkatkan pertumbuhan ortodoksi Islam di Indonesia.[2]
Oleh karena itu, dapat dipahami kalau gerakan pembaruan Islam di Indonesia kemudian mengarahkan kegiatannya kepada lima masalah pokok yang berkaitan dengan faktor-faktor yang melatarbelakanginya, yaitu :
1.                  Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan bukan Islam;
2.                  Reformasi doktrin-doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern;
3.                  Reformasi ajaran dan pendidikan Islam;
4.                  Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan dari luar;
5.                  Melepaskan bangsa-bangsa Indonesia dari belenggu penjajah.[3]
Dengan demikian gerakan pembaruan Islam yang bermula dari usaha untuk memurnikan ajaran Islam dengan kembali pada sumber yang asli, yaitu Al-Qur’an dan hadits, akhirnya harus merambah ke masalah-masalah sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, dan peradaban pada umumnya. Dari sini jelas terlihat bahwa gerakan pembaruan Islam sekaligus berjuang melawan empat musuh, yaitu:
1.                  Formalisme ortodoks yang terjelma dalam kebudayaan santri di pedesaan Indonesia maupun ketidakmurnian agama Islam di pedesaan yang animistik dan Hinduistik;
2.                  Lembaga-lembaga pra-Iislam yang terjelma dalam adat dan kebudayaan priyayi, yang secara tradisional telah menghalangi hidup Islam yang sebenarnya;
3.                  Westernisasi dengan mengidentifikasi Islam sebagai sesuatu yang berlawanan dengan norma-norma Barat yang Kristen maupun sekular; dan
4.                  Status quo kolonial itu sendiri.[4]
Gerakan pembaruan Islam yang memilih bidang politik sebagai basis kegiatan adalah Sarekat Islam. Organisaasi ini merupakan kelanjutan dari organisasi Sarekat Dagang Islam yang dirikan oleh Haji Samanhudi di Solo. Di bawah kepemimpinan H.O.S. Tjokroaminoto, Sarekat Islam berhasil menjadi kekuatan terbesar dalam menggerakkan massa berdasarkan agama pada dasawarsa pertama semenjak didirikan pada 1912 M.
Sebagai organisasi kaum pribumi yang berdasarkan agama, Sarekat Islam menempati tempat yang unik namun kompleks dalam sejarah nasionalisme Indonesia maupun sejarah Islam Indonesia. Secara ideologis, ia mendahului nasionalisme pragmatik yang kemudian diungkapkan dalam istilah ”Kebangsaan yang Merdeka” secara religius, ia juga mendahului formulasi program pembaruan Islam khusus diungkapkan dalam nilai-nilai sosial dan politik Islam.

B.                 Perkembangan Gerakan Ahmadiyah Di Indonesia

A.                Awal Kemunculan.
Informasi tentang dua paham Ahmadiyah di Indonesia tidaklah jelas. Ketidakjelasan itu terlihat dari latar belakang kedatangannya di Indonesia. Orang-orang Indonesia mengetahui kehadiran Ahmadiyah aliran Qadian melalui sekolah-sekolah di Qadian bagi pemuda-pemuda Sumatra. Berbeda dengan Ahmadiyah aliran Lahore yang tampaknya lebih suka memakai cara mengirim propagandis-propagandis ke Indonesia tanpa harus melalui permintaan dari orang-orang Indonesia.
Bila dilihat dari kacamata sejarah, kemunculan sebuah gerakan tidak akan bisa terlepas dari pelaku, waktu, dan tempat. Hal itu senada dengan John Edward Sullivan yang mengutip Karl Jaspers dalam bukunya Study of History yang menyatakan bahwa peristiwa atau kejadian sejarah yang menyebabkan kemajuan budaya di tentukan oleh man, time, and place.[5]
Berkenaan dengan awal kemunculan Ahmadiyah di Indonesia, Federspil menyatakan bahwa Ahmadiyah pada awalnya sampai ke Indonesia melalui para siswa yang kembali dari sekolah Ahmadiyah di India pada akhir abad ke-19.[6] Akan tetapi, secara kronologi versi itu dipermasalahkan karena akhirnya abad lalu gerakan ini baru lahir di India. Sumber lain tampaknya tidak setuju dengan fakta-fakta tentang proses orang-orang Indonesia yang pada awalnya bersekolah (Ahmadiyah) di Qadian.
Hamka menyatakan bahwa berita tentang Ahmadiyah tersebar melalui buku-buku dan majalah-majalah yang terbit di luar negeri.[7] Sebaiknya, artikel yang muncul belakangan menunjukkan bahwa Ahmadiyah tidak dikenal di Indonesia sampai tiga orang siswa Indonesia pergi belajar ke India pada tahun 1922.[8] Setelah mendengar pengajaran Islam di India tidak kurang hebatnya dibandingkan dengan pengajaran Islam di Timur Tengah, sejak itu banyak murid Indonesia berangkat ke India untuk meneruskan pendidikannya ke Lahore menuju kampung Qadian.[9] Kemudian mereka mengirim informasi melalui surat tentang gerakan itu kepada orang-orang Islam di Indonesia.
Ajaran Ahmadiyah tersebar melalui pelajar di Sumatra yang belajar di India dan kembali ke Indonesia sekitar tahun 1925. Sebagai contoh Abdul Sami Sumantri, seorang siswa asal Sumatra yang sedang sekolah di Ahmadiyah School Qadian yang mengirim surat sekolah tersebut. Ia menginformasikan bahwa sekolah Ahmadiyah School sangat menyenangkan. Di sekolah itu ada pelajaran bahasa Arab yang cukup, bahasa Inggris, bahasa Persi, bahasa Urdu, dan bahasa Hindustan yang merupakan bahasa sehari-hari.
Di samping itu, terdapat pelajaran lain seperti yang diajarkan di Indonesia. Pendidikannya dirancang untuk delapan tahun. Jika ingin menambah pengetahuan, dapat meneruskan ke sekolah mubaligh (seperti college) selama satu tahun. Sekolah mubaligh ini mengajarkan :
1.         Cara-cara menyebarkan ajaran agama Islam ke seluruh dunia.
2.         Cara menarik orang yang beragama Islam lain supaya masuk Islam.
3.         Cara menjadikan orang yang beragama Kristen (yang mengatakan Tuhan itu tiga) agar mengakui bahwa Allah itu satu, Nabi Muhammad SAW. itu Nabi Allah, dan agama Islam inilai yang benar.
4.         Agama-agama selain agama Islam.[10]
Sementara itu, Raden Ngabei Haji Minhadjurrahman Djojo Sugito menulis bahwa ia mendengar gerakan Ahmadiyah antara tahun 1921 dan 1922.[11] Sebenarnya, Ahmadiyah mulai dikenal sejak tahun 1918 melalui majalah Islamic Review edisi Melayu yang terbit di Singapura.[12] Akan tetapi, Ahmadiyah baru diperkenalkan secara langsung oleh tokoh Ahmadiyah sendiri pada tahun 1920.
Tokoh yang dimaksud adalah Prof. Maulana H. Kwadja Kamaluddin, B.A., LLB, seorang tokoh Ahmadiyah Lahore sekaligus seorang Ahmadi yang membawa misi Islam di London dan Eropa. Ia juga Imam Masjid Woking, Surrey, London, serta redaktur surat kabar Islamic Review yang menerbitkan artikel-artikel tentang agama Islam.[13] Pada tanggal 23 Oktober 1920 ia datang ke Surabaya dengan maksud ingin berobat karena gangguan kesehatan dan melihat keadaan di Surabaya.[14]
Pada tanggal 28 November 1920 Perhimpunan Tashwirul Afkar memberinya kesempatan untuk memberikan sambutan dalam acara peringatan Maulid Nabi di Masjid Ampel Surabaya. Peringatan itu dihadiri sekitar 4000 pengunjung dengan pembicara utama H. Umar Ketapang dan pembaca doanya H. Abdul Wahab. Dalam sambutannya, Kwadja Kamaluddin menggunakan bahasa Inggris dan diterjemahkan oleh Hasan Ali Soerati. Isi sambutannya antara lain supaya melakukan dakwah Islamiyah kepada orang Islam yang masih gelap keislamannya dan Al-Qur’an jangan hanya sekadar dibaca, namun juga wajib diketahui isinya.
Di samping itu, ia juga menginformasikan perkembangan Islam di Inggris dan semangat mereka dalam mempelajari Al-Qur’an setelah masuk Islam. Pada tahun 1921 ia memberi ceramah di Gambir Park, Batavia.[15]
Secara rinci, dapat dikemukakan bahwa kedatangan Ahmadiyah Qadian di Indonesia didahului oleh kisah keberangkatan dua orang pemuda ke India, yaitu Abu Bakar Ayyub dan Ahmad Nuruddin. Kedua pemuda itu adalah lulusan dari perguruan Sumatra Thawalib yang dipimpin Dr. H. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) di Padang Panjang. Setelah selesai mengikuti pelajaran di perguruan tersebut, mereka mengambil keputusan untuk melanjutkan sekolah ke Mesir.
Akan tetapi, mereka dinasihati oleh Zainuddin Labai El Yunusiah (bekas guru mereka di Diniyah School) dan Syaikh Ibrahim Musa Parabek (seorang ulama terkenal di Bukittinggi) agar melanjutkan studi ke Hindustan saja. Alasannya, sudah banyak orang menuntut ilmu ke Mesir sehingga perlu mencari ilmu ke tempat lain. Mereka menganggap Hindustan merupakan salah satu negara yang memiliki tokoh-tokoh dan perguruan dalam ilmu pengetahuan agama Islam yang bermutu tinggi.[16]
Pada tahun 1922 Abu Bakar Ayyub dan Ahmad Nuruddin berangkat dari Sumatra melalui Medan ke India dengan tujuan Lucknow untuk mencari ulama. Berkat pertolongan tukang delman, mereka dapat bertemu dengan seorang alim besar bernama Abdul Bari al-Anshari. Mereka belajar di sekolah yang ia asuh, yakni di Madrasah Nizamiah.[17] Di kota itu mereka menjadi bertiga dengan kedatangan teman mereka, Zaini Dahlan, dari Padang Panjang.
Setelah kira-kira dua setengah bulan mereka meninggalkan Lucknow menuju ke Lahore. Mereka memutuskan meninggalkan sekolah itu karena mengetahui bahwa guru yang mereka segani ternyata tiap pagi pergi ke kuburan menyembah kuburan seorang kiai. Di kota Lahore ini pula mereka berkenalan dengan Ahmadiyah. Mereka pernah mendengar nama Kwaja Kamaludin, salah seorang pemimpin Ahmadiyah Building, yaitu pusat gerakan Ahmadiyah Lahore yang tidak jauh letaknya dari stasiun kereta api Lahore. Di sana mereka dididik oleh Maulana Abdus Sattar, namun tidak memperoleh kepuasan. Melalui tiga orang Ahmadi dari Jema’at Ahmadiyah yang bermarkas di Qadian mereka mengetahui bahwa pendiri Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad, adalah Imam Mahdi dan al-Masih yang kedatangannya dijanjikan Rasulullah SAW. dan makamnya terdapat di Qadian. Tiga orang yang mereka temui tersebut – Maulana Muhammad Malabari, Maulana Syaikh Abdul Khalid, dan Maulana Muhammad Taqi – datang ke Lahore untuk berdebat dengan Maulana Muhammad Ali, tokoh pemimpin Anjuman Ahmadiyah Lahore.[18]
Pada akhir tahun 1923, setelah menetap di Lahore selama kurang lebih enam bulan, mereka meninggalkan kota Lahore menuju Qadian. Mereka menemui Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, putera Mirza Ghulam Ahmad, yakni Khafilah II, untuk belajar agama. Mereka diperbolehkan masuk Madrasah Ahmadiyah. Sebelumnya, mereka lebih dahulu harus belajar bahasa Urdu selama enam bulan. Setelah menjadi murid sekolah itu, mereka kemudian masuk Jami’ah Ahmadiyah. Dalam waktu singkat akhirnya mereka melakukan bai’at di tangan Khalifah II.
Setelah masuk Ahmadiyah, mereka berkirim surat kepada keluarga mereka di tanah air. Mereka menginfromasikan tentang biaya hidup di Qadian yang sangat murah. Bahkan, jika ingin bersekolah di sini, meski tidak mampu, akan mendapat bantuan dari wakaf sekolah. Atas informasi itu banyak pelajar lain yang datang ke Qadian. Pada tahun 1926, tercatat beberapa orang yang belajar di sekolah Ahmadiyah datang dari berbagai kota di Sumatra, antara lain dari Padang, Padang Panjang, Batu Sangkar, dan Tapaktuan, Aceh. Setibanya di Sumatra mereka mendirikan Perkumpulan Ahmadi Indonesia.[19]
Menurut penulis Ahmadiyah Qadian, pada akhir tahun 1924 sekembalinya Khalifah II Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad dari London (dalam rangka menghadiri konferensi agama-agama dan peletakan batu pertama pendirian masjid Fadhl), ia diundang para pelajar Indonesia untuk menghadiri acara jamuan teh beserta para tokoh Jema’at. Pelajar Ahmadi Indonesia saat itu berjumlah 19 orang. Diantaranya Abu Bakar Ayyub, Ahmad Nuruddin, Zaini Dahlan, H. Mahmud (Padang Panjang), Mohammad Nur (Lubukbasung), Abdul Qayyum (Tapaktuan), Mohammad Samin (Tapaktuan), Samsuddin (Rengat), Samsuddin Rao-Rao (Batusangkar), Mohammad Jusyak (sampur), Muhammad Ilyas (Padang Panjang), Hajiuddin (Rengat), Abdul Aziz Syareef (Padang), Moh. Idris, dan Abdul Samik (Padang Panjang).
Dalam jamuan tersebut, pihak pelajar membacakan pidatonya dalam bahasa Arab yang diwakili Haji Mahmud. Isinya meminta kepada Khalifah II agar dapat mengadakan kunjungan ke Indonesia. Atas permintaan tersebut, ia menunjuk Maulana Rahmat Ali yang waktu itu bertugas sebagai guru Ta’limul Islam High School di Qadian sebagai mubaligh untuk Sumatra dan Jawa.[20] Dengan demikian, kedatangan Ahmadiyah Qadian di Indonesia sebenarnya atas permintaan pemuda-pemuda Indonesia sendiri yang pernah studi di Qadian. Termasuk bekas murid-murid dari Perguruan Sumatra Tawalib, seperti Abu Bakar Ayyub, Ahmad Nuruddin, Zaini Dahlan yang kemudian menjadi tokoh penyebar paham Ahmadiyah di kampong halamannya.
Sebagai realisasi dari janji Khalifah II, pada bulan Agustus 1924 Departemen Dakwah dan Tabligh atas perintah Khalifah II menugaskan Maulana Rahmat Ali H.A.O.T. ke Indonesia. Sebelum berangkat, ia terlebih dahulu belajar bahasa Indonesia kepada para pelajar Indonesia yang tinggal di asrama dengan memakai buku Empat Serangkai yang dipesan dari Sumatra.
Rahmat Ali lahir tahun 1893. Setelah lulus sebagai pelajar generasi pertama dari Madrasah Ahmadiyah di Qadian tahun 1917 ia menjadi guru bahasa Arab dan Agama di Ta’limul Islam High School, Qadian. Pada tahun 1924, ia dipindahkan ke Departemen Tabligh (Nizarat ad-Da’wah wa at-Tabligh). Kemudian dari bulan Juli 1925 sampai dengan Mei 1950, ia bertugas sebagai mubaligh di Indonesia.
Beberapa tahun setelah itu ia ditugaskan sebagai mubaligh di Pakistan Timur sampai bulan Agustus 1958 dan meninggal dunia di Rabwah.[21] Sebelum Rahmat Ali berangkat ke Indonesia, ia telah diberi nasihat-nasihat oleh Khalifah II, yakni :
Janganlah memakai cara-cara debat.
Bicaralah dengan para ulama yang mencintai ilmu.
Bicaralah secara terpisah dengan para ulama yang menentang.
Bertablighlah dengan para tokoh masyarakat.
(Pada zaman Hz masih Mau’ud, kalangan ulama yang masuk Ahmadiyah adalah Hz. Maulwi Hakim Nuruddin, sedangkan kalangan pembesar masyarakat adalah Nawab Muhammad Ali Khan.
Bertablighlah secara bertahap dan teratur.
Pertama kepada golongan orang yang baik.
kemudian kepada golongan orang yang tidak baik.
Setia dan taatlah kepada kebijaksanaan pemerintah.
Jangan ambil muka pemerintah.
Di mana saja ada Ahmadi, bentuklah pengurusnya.
Sibuklah berdoa setiap waktu.
Berilah laporan secara teratur kepada saya supaya situasi dapat diketahui.
Di dalam diri Ahmadi baru, bentuklah kebiasaan bertabligh dan jadilah contoh yang baik agar orang-orang mengetahui hakikat Ahmadiyah.
Wujudkanlah perdamaian bagi ketertiban umum dan pemerintah.
Jauhilah politik supaya dapat bebas dengan masyarakat.
Bertablighlah dengan surat menyurat. Dan tentukanlah tempat-tempat pertablighan.
Jangan lalai melaksanakan tugas.
Tiga perempat dari chandah (iuran wajib dan non wajib bagi Jema’at Ahmadiyah), belanjakanlah di sana dengan ikhlas dan jujur.
Sedangkan sisanya kirimkan ke Pusat.
Jagalah kewibawaan dan kehormatan diri sendiri dengan keagungan iman.
Orang-orang akan masuk ke Ahmadiyah setelah melihat contoh yang baik.
Majukanlah Jema’at dengan penuh keikhlasan.[22]
Pada bulan Juli 1925 Maulana Rahmat Ali meninggalkan Qadian menuju Indonesia melalui Penang, Medan, dan Sabang – kota pelabuhan di ujung utara Sumatra yang terletak di Pulau Weh. Walaupun di Sabang Rahmat Ali mendapatkan kesulitan dari penguasa setempat, akhirnya ia sampai juga di Kotaraja, Banda Aceh. Akhirnya, pada tanggal 2 Oktober 1925 ia tiba di Tapaktuan. Ia tinggal di rumah Muhammad Amin, orang yang pernah belajar di Qadian beberapa waktu sebelumnya. Sebagaimana di tempat lain, di Tapaktuan pun masyarakat telah mengenal kepercayaan akan datangnya Imam Mahdi. Para pelajar Indonesia di Qadian sering berkirim surat agar jika utusan pertama dari Imam Mahdi datang supaya diterima sebaik-baiknya.[23]
Di Tapaktuan Rahmat Ali mulai melakukan tabligh. Ia memakai pakaian sebagaimana yang dipakai di Qadian sehingga tampak lain dari apa yang dipakai oleh penduduk setempat. Dalam waktu tidak lama, di antara mereka sudah ada yang mengaku secara terang-terangan mengikuti Ahmadiyah. Mereka itu antara lain Abdul Rahman, Muhammad Syam, Mahdi Sutan Singasoro, Mamak Gemuk, Munir, Ali Sutan Marajo, Sulaeman, Datuk Dagang Muhammad Hasan, Abdul Wahid, Muhammad Yakin Munir, Nyak Raja, Abbas, dan Teuku Nasruddin. Peristiwa ini terjadi sekitar akhir bulan Desember 1925. Rumah yang dipergunakan untuk berkumpul ialah rumah Mamak Gemuk.[24] Dengan demikian, di Tapaktuan telah berdiri Jema’at Ahmadiyah.
Pada tahun 1926 Maulana Rahmat Ali meninggalkan Tapaktuan menuju Padang. Dalam catatan sejarah, Padang adalah sebuah kota yang ramai dan merupakan pusat keramaian untuk daerah Minangkabau. Kebanyakan orang Minang lebih suka merantau, terutama kaum pria. Mereka adalah pedagang yang ulet. Di samping itu, Padang merupakan kota dengan pelabuhan yang menghadap ke Samudera Hindia yang dikenal dengan nama Teluk Bayur. Dari sini banyak kapal laut yang datang dan pergi mengarungi Samudera membawa penumpang serta barang-barang ke tempat lain. Di kota ini atas petunjuk Abdul Aziz Shareef yang saat itu masih belajar di Qaidan, Maulan Rahmat Ali tinggal di rumah Daud Bangso Dirajo di Pasarmiskin.[25]
Setibanya di Padang, Maulana Rahmat Ali mulai melakukan tabligh seperti pada waktu ia tiba di Tapaktuan sehingga membuat resah warga Padang, bahkan sampai ke daerah-daerah seperti Padang Panjang, dan Bukit Tinggi. Sudah barang tentu hal ini meningkatkan reaksi dan pertentangan. Akhirnya, berdiri sebuah komite yang bernama “Komite Mencari Hak” yang dipimpin oleh Tahar Sutan Marajo. Tujuannya hendak mempertemukan mubaligh Ahmadiyah dengan ulama Minangkabau.
Pada permulaan tahun 1926 komite tersebut telah berusaha mengundang para ulama Minangkabau dan mubaligh Ahmadiyah, Maulana Rahmat Ali, untuk berdebat di pasar Gadang pada sebuah bangunan milik Bagindo Zakaria. Akan tetapi, penyelenggaraan debat tidak jadi dilaksanakan karena pihak alim ulama tidak datang, kecuali murid-muridnya sehingga para anggota komite merasa kecewa.[26]
Reaksi yang lain, masih dalam tahun yang sama (1926), ayah Hamka, Dr. H. Abdul Karim Amrullah, mengecam keras paham Ahmadiyah yang dibawa oleh Mualan Rahmat Ali dan menganggap bahwa kaum Ahmadiyah berada di luar Islam. Bahkan, lebih tegas lagi, kafir. Kecaman terhadap paham tersebut dituangkan dalam tulisannya yang berjudul Al-Qaul ash-Shahih. Akan tetapi, hal itu tidak menghambat perkembangan Jema’at Ahmadiyah di Padang. Anggota Ahmadiyah pada awal berdirinya berjumlah 15 orang. Mereka itu antara lain, Mohammad Taher Sutan Marajo, Daud Gelar Bangso Dirajo, Pakih Isa, Bagindo Syarif, Abu Bakar Gelar Bagindo Marajo, Abdul Jalil Marah Bungsu, Abdul Rahman, Bagindo Zakaria, Marah Simun, Husin Marah Sutan, dan H. Marah Wahab.[27]
Dengan demikian, Maulana Rahmat Ali adalah pembawa paham Ahmadiyah Qadian ke Indonesia bersama pemuda-pemuda Indonesia yang belajar di Qadian. Oleh karena itu, Maulana Rahmat Ali dipandang sebagai perintis Ahmadiyah Qadian di Indonesia yang dalam perkembangannya menjadi sebuah organisasi dengan nama Jema’at Ahmadiyah Indonesia.
Setelah terjadi peristiwa berdirinya Ahmadiyah tahun 1929, Maulana Rahmat Ali beserta para pengikutnya selalu mendapat ejekan, penghinaan, bahkan penganiayaan. Ejekan yang dilontarkan antara lain lore! lore! lore!. Sebutan ini berasaldari nama  kota Lahore. Rahmat Ali disoraki dengan kata-kata Dajjal, tukang sihir, dan pembawa nabi baru.[28] Meski demikian, Maulana Rahmat Ali tetap melakukan tabligh ke daerah-daerah selain Padang Panjang, seperti Bukittinggi, Payakumbuh, dan beberapa daerah lainnya. Dalam melaksanakan tabligh, ia dibantu oleh M. Haji Mahmud yang ketika itu baru kembali dari Qadian.
Sementara itu, pada akhir tahun 1929 Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan pulang dari Qadian ke kampung halamannya sehingga menambah tenaga mubaligh di Indonesia. Dua tahun berikutnya, tepatnya tahun 1931,[29] Rahmat Ali meninggalkan Sumatra dan pergi ke Jawa. Ia tidak pergi berdakwah ke Yogyakarta karena di sana sudah lebih dahulu bermukim mubaligh India yang lain, yakni mubaligh dari Ahmadiyah Lahore.
Ahmadiyah Lahore sudah lebih dahulu dikenal di Jawa, tepatnya di kota Yogyakarta pada tahun 1924,[30] setahun lebih awal disbanding Ahmadiyah Qadian yang dikenal di Sumatra atau dua belas tahun setelah Muhammadiyah berdiri. Informasi mengenai latar belakang kedatangan Ahmadiyah Lahore di Jawa tidak sejelas informasi kedatangan Ahmadiyah Qadian di Sumatra. Kedatangan dua orang mubaligh dari Hindustan, Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Baig, tidak begitu jelas siapa yang mengundangnya – jika memang ada yang mengundang. Selain itu, tidak ada informasi dari pelajar Indonesia yang sedang belajar di Lahore, Punjab, tentang kedatangan kedua mubaligh tersebut ke Jawa. [31]
Menurut Muhammadiyah, Wali Ahmad Baig mengemukakan bahwa ia sebenarnya ingin ke Manila, namun karena tidak ada biaya hidup yang cukup ia terpaksa tinggal di Indonesia. Sumber lain mengemukakan bahwa Maulana Ahmad dan Wali Ahmad Baig bermaksud ke Cina dan hanya berniat berhenti sebentar untuk mengadakan kunjungan singkat di Indonesia. Mungkin, kedua mubaligh Ahmadiyah Lahore ini mengubah niat mereka setelah mendengar berita penyiaran agama Kristen di Jawa yang sangat kuat dan sukses, baik ketika di Singapura maupun di Jawa, sehingga mereka membatalkan niatnya ke Cina dan tinggal di Jawa. Perubahan rencana ini mereka laporkan ke Pedoman Besar Gerakan Ahmadiyah Lahore (Shadr Anjuman Isya’ati Islam) di India. Mereka juga minta agar diizinkan tinggal di Indonesia dan agar dikirimkan mubaligh lain ke Cina.[32]
Dugaan bahwa mubaligh Ahmadiyah Lahore dikirim secara khsuus sebagai misionaris ke Indonesia adalah pendapat seorang sarjana muslim India yang berkunjung ke Indonesia pada tahun 1927 dan memberi kuliah di Muhammadiyah. Kedatangan Ahmadiyah Lahore di Yogyakarta pada mulanya mendapat bantuan dari organisasi Muhammadiyah. Hal ini terbukti bahwa Wali Ahmad Baiq tinggal di rumah Haji Hilal di Kauman tempat kelahiran Muhammadiyah dan pusat aktivitas Islam di Yogyakarta.[33] Pengurus besar Muhammadiyah sendiri juga menyambut mereka dalam kongresnya yang diadakan tahun 1924.
Dalam kongres tersebut, Maulana Ahmad memperoleh kehormatan memberikan sambutan dalam bahasa Arab, sementara Wali Ahmad Baiq memberi sambutan dalam bahasa Inggris karena ia kurang fasih berbahasa Arab.[34] E. Gobee menjelaskan bahwa Maulana Ahmad yang asalnya dari Afganistan dan sekolah di Britisch-Indie, selain bisa berbahasa Arab, ia juga bisa berbahasa Urdu. Sementara itu, Wali Ahmad Baig yang ayahnya keturunan Persi itu hanya bisa berbahasa Arab secara pasif, tetapi bahasa Inggrisnya cukup baik. Dalam pidatonya, Wali Ahmad Baig menguraikan tentang persamaan Islam, Kristen, dan Yahudi.[35]
Sumber lain menyebutkan isi pidato Wali Ahmad Baig antara lain perkenalan dirinya sebagai utusan Ahmadiyah dari Lahore dan di dunia. Ada dua tujuan Ahmadiyah, pertama mengumpulkan orang-orang Islam di dunia di bawah satu bendera Islam, yaitu Islam yang sejati. Kedua, menyiarkan agama Islam sebagai agama yang cocok dengan kejadian manusia di seluruh dunia. Untuk dua maksud itulah Ahmadiyah melakukan tabligh ke seluruh dunia.
Ia juga menginformasikan tentang kegiatan mubaligh Ahmadiyah di luar Hindustan. Sebagai contoh, Ahmadiyah Lahore mengirim mubaligh Prof. Kwadja Kamaluddin ke Inggris untuk berdakwah di sana. Selama tujuh tahun hampir 2000 orang Inggris masuk agama Islam. Mereka yang masuk Islam adalah pangeran, professor, dan beberapa orang alim yang berpangkat tinggi. Di Inggris Kwadja Kamaluddin juga menjabat sebagai imama masjid Woking dan redaktur majalah Islamic Review yang terbit setiap bulan. Melalui majalah ini, penyiaran Islam di Eropa juga dilakukan Ahmadiyah Lahore. Contoh lain, Ahmadiyah Lahore juga mengirimkan mubaligh ke Jerman dan ke Amerika, masing-masing Maulana Sadrudin B.A.B.T. dan Maulana Fazal Karim B.A.B.T.[36] Tanggapan orang-orang Muhammadiyah yang hadir dalam kongres tersebut tampak kurang antusias. Hal ini terjadi mungkin karena mereka tidak paham bahasa Inggris.
Maulana Ahmad sendiri menyampaikan materi yang menentang dogma-dogma Kristen, khususnya tentang Ketuhanan dan Yesus seorang anak Tuhan. Ia juga menjelaskan bahwa ada dua prinsip dalam dakwahnya. Pertama, mendorong agama Islam. Kedua, menjauhi aktivitas politik. Para peserta tampak sangat senang. Mungkin karena bahasanya dapat dipahami dan isinya menarik. Menurut sumber dari Ahmadiyah, pidato yang disampaikan kedua mubaligh Hindustan tersebut mendapat sambutan hangat dari kalangan hadirin yang mendengarkannya.[37]
Pemberian kesempatan kepada mubaligh Hindustan tersebut bukan hanya dalam kongres Muhammadiyah tahun 1924, melainkan juga dalam kongres Muhammadiyah tahun 1925. R. Kern mengemukakan, meskipun kongres yang berlangsung selama enam hari dan dilaksanakan di rumah seorang ningrat, Raden Wedana Djajengprakasa, itu hanya dihadiri sedikit bangsawan, kongres itu dipenuhi para pedagang Jawa, Madura, dan Sunda yang merupakan para pendukung utama Muhammadiyah pada masa itu. Selain penyajian makalah-makalah seperti yang disampaikan Junus Anies dan R. Hadjid, juga ada sambutan-sambutan, termasuk dari Mirza Wali Ahmad Baig.[38] Pada saat itu Maulana Muhammad kembali ke India lebih awal karena sakit.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa saat itu telah terjadi hubungan yang akrab antara Ahmadiyah dan Muhammadiyah. Hubungan akrab ini dapat dilihat lebih jauh dalam Al-Manak Muhammadiyah ke-2 tahun 1344/1925.

Pergerakan Ahmadiyah yang berasal dati Hindustan, sekarang ini dibicarakan dalam surat-surat kabar. Zending Kristen di tanah Hindia pun ramai membicarakannya, baik dalam rapatnya maupun dalam surat kabarnya. Apa Ahmadiyah itu? Apa kekuatannya? Serta rupa-rupa pertanyaan lainnya. Rupa-rupanya, Ahmadiyah mendapat perhatian dari pihak Kristen.
Ahmadiyah itu pergerakan yang menyebarkan agama Islam. Utusannya dikirimkan ke mana-mana di dunia ini. Eropa, Asia, Amerika, dan Afrika didatangi utusan mereka. Pendirian masjid di Eropa sangat diusahakan oleh Ahmadiyah, sehingga Islam di Eropa pun mulai berkembang …. Sudah ada beberapa anak (muda, ed.) Muhammadiyah (yang, ed.) pergi ke Hindustan untuk melebarkan pandangan tentang agama Islam. Kemajuan agama Islam di Hidustan ternyata sudah jauh melebihi (Islam, ed.) di tanah air kita. Wajiblah kita meniru kemajuan saudara kita itu.[39]

Sementara itu, H.A. Mukti Ali mengemukakan bahwa hubungan baik antara Mirza Wali Ahmad Baig dan tokoh-tokoh Muhammadiyah terjadi karena Ahmadiyah Lahore memperluas gerakannya di Indonesia, di samping dalam tablighnya, Ahmadiyah Lahore juga ingin menyerang Kristen.[40] Rumah tinggal Wali Ahmad Baig menjadi tempat pertemuan orang-orang Muhammadiyah, khususnya dari kalangan muda, termasuk tokoh muda Muhammadiyah, antara lain Sekretaris Jenderal Pengurus Besar dan Direktur HIS Muhammadiyah, Muhammad Husni dan Sudewo.
Selain berdiskusi tentang berbagai masalah agama, mereka juga belajar bahasa Inggris. Bahkan, H.O.S. Tjokroaminoto dan para anggota Sarekat Islam juga sering datang dalam kegiatan tersebut. Memang, saat itu merupakan masa ketika Sarekat Islam dan Muhammadiyahmasih berbaur sedemikian rupa.[41] Dalam kaitan dengan Ahmadiyah, mungkin kemampuan mereka dalam berbahasa Inggris merupakan daya pikat tersendiri, terutama bagi mereka yang haus ilmu pengetahuan.
Setelah KH. Ahmad Dahlan wafat, sebagian tokoh Muhammadiyah, yakni para intelektual muda Muhammadiyah, merasakan semacam kekosongan figure untuk mengadukan segala masalah atau memberikan siraman Ilmu. KH. Ahmad Dahlan dikenal sebagai figure yang penuh tasamuh (toleran), bahkan kepada yang beragama Nasrani, sebagaimana diakui F.L.O. Bakker, salah seorang tokoh utama misi Kristen yang beroperasi di Jawa.[42]
Sikap ini memungkinkan Ahmad Dahlan untuk dapat berkomunikasi sekalipun terjadi perbedaan pendapat yang cukup tajam. Memang Ahmad Dahlan dikenal berwawasan luas sehingga mampu berkomunikasi dengan tokoh-tokoh muda Muhammadiyah yang berbakat. Kekosongan ini tampaknya diisi oleh figure semacam Wali Ahmad Baig.
Berkaitan dengan kegiatan yang dilakukan Wali Ahmad Baig, Pijper menambahkan bahwa pelajaran bahasa Inggris yang diberikan Wali Ahmad Baig juga diarahkan untuk memahami The Holy Qur’an dengan terjemahan dan komentar berbahasa Inggris yang disusun oleh Maulana Muhammad Ali, presiden Ahmadiyah Lahore.[43] Dalam perkembangannya, tokoh Sarekat Islam, H.O.S. Tjokroaminoto, secara diam-diam menerjemahkan tafsir The Holy Qur’an karangan Maulana Muhammadi Ali ke dalam bahasa Melayu. Hal ini dilakukan dalam perjalanan ke Makah untuk menghadiri Mu’tamar ‘Alam Islami ketika menjabat sebagai wakil SI bersama Haji Mas Mansur dari Muhammadiyah.[44]
Wali Ahmad Baig sering diundang dalam pertemuan-pertemuan dan diskusi-diskusi informal yang diadakan warga Muhammadiyah. Kajian Wali Ahmad Baig tentang agama dengan menggunakan bahasa Inggris membuat ia menjadi popular, khususnya di kalangan kaum muda Yogyakarta. Selain mengajarkan bahasa Inggris, ia juga mengajarkan bahasa Arab untuk membantu penjelasan grammar Inggris sehingga murid-muridnya dapat belajar membaca Al-Qur’an, termasuk beberapa komentarnya. Salah satu tujuan pokok Ahmadiyah Lahore adalah melahirkan penafsiran Al-Qur’an secara modern untuk disajikan kepada kaum muslimin dalam rangka membentengi diri dari pengaruh Kristen. Inilah salah satu alasan Wali Ahmad Baig datang ke Jawa.
Selain itu, Djojosugito dan Muhammad Husni sebagai pengurus besar Muhammadiyah juga banyak belajar dengan Wali Ahmad Baig. Begitu pula beberapa orang guru HIS Muhammadiyah, seperti Sudewo P.K, M. Kusban, Sunarti, Usman, dan beberapa murid Kweekschool Muhammadiyah, Muh. Irsyad, Mufti Syarief.[45] Bahkan, beberapa di antara mereka, seperti Djojosugito, Muhammad Husni, dan Wahban Hilal telah bergabung dengan Ahmadiyah Lahore. Beberapa tokoh penting lain di kalangan Muhammadiyah, seperti KH. Fachruddin dan tokoh Sarekat Islam, seperti H. Agus Salim dan H.O.S. Tjokroaminoto, secara kelembagaan tidak melakukan kerja sama dengan gerakan Wali Ahmad Baig. Akan tetapi, secara individu mereka menaruh simpati terhadap apa yang mereka pandang sebagai penyajian Islam secara modern.
Begitu juga tokoh Muhammadiyah, KH. Fachruddin. Ia sering menerbitkan artikel tentang Ahmadiyah di dalam jurnalnya Bintang Islam. Bahkan, Al-Manak Muhammadiyah tahun 1926 berisi artikel-artikel menarik tentang Ahmadiyah.[46] Lebih lanjut, pada periode ini Taman Pustaka, terbitan resmi Muhammadiyah, telah menerbitkan karya-karya Ahmadiyah.[47]
Persaudaraan antara Muhammadiyah dan Ahmadiyah menjadi lebih kelihatan nyata dan ramah tatkala beberapa pemuda Muhammadiyah dikirim ke Lahore untuk dilatih sebagai mubaligh Ahmadiyah. Mereka adalah Kiai Maksoem, Kiai Sabit dari Wonosobo, dan Djoemhan, putera KH. Ahmad Dahlan. Di India putera pendiri Muhammadiyah ini berganti nama menjadi Irfan dan meninggal di Bangkok sebagai mubaligh Lahore.
Berkenaan dengan pemuda Jawa yang berangkat ke Lahore, tanggal 7 Juni 1924 penasihat Urusan Pribumi, R. Kern, melaporkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda bahwa ada empat pemuda Jawa di Semarang yang pergi ke Calcuta menuju Lahore untuk studi di sekolah Ahmadiyah Lahore. Mereka adalah :
1.         Djoendab, umur 16 tahun, putera dari Hadji Moechtar, Yogyakarta.
2.         Mohammad Sabitoen, umur 25 tahun, putera dari Hadji Wahab.
3.         Djoemhan, umur 17 tahun, putera dari Hadji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
4.         Maksoem, umur 17 tahun, putera dari Hadji Hamid.[48]
Pemikiran Wali Ahmad Baig juga dapat diterima oleh para pemuda Islam berpendidikan Barat yang bergabung dalam organisasi Jong Islamieten Bond yang dikenal dengan JIB. Hal itu terbukti dari pemuatan ajaran Wali Ahmad Baig, Sudewo PK, dan kawan-kawannya dalam majalah IB bernama Het Licht (An-Nur). Dalam salah satu artikel dikemukakan bahwa di India dan Afganistan terjadi pertentangan keras terhadap gerakan Ahmadiyah. Informasi dalam artikel tersebut menimbulkan prediksi bahwa gerakan Ahmadiyah akan menyebabkan perpecahan di kalangan masyarakat Islam di Indonesia.[49]
Akibat pemuatan artikel itu, kantor-kantor Pemerintah Belanda di Jawa tertarik akan kemajuan Ahmadiyah. Akan tetapi, setelah mengadakan konsultasi dengan Kreamer, seorang misionaris Kristen terkenal, dan Haji Muchtar seorang anggota Muhammadiyah, diputuskan bahwa tidak akan ada penggabungan antara Muhammadiyah dan Ahmadiyah.[50] Dalam hal ini, Residen Belanda di Yogyakarta, Dingemans, memberi sikap mendukung kerena memandang Ahmadiyah sangat liberal. Oleh kerena itu, Dingemans berpendapat bahwa pengajaran-pengajaran Ahmadiyah menunjukan bukti penyesuaiannya. Sunguhpun begitu, ia sangat khawatir kehadiran Ahmadiyah hanya akan menambah jumlah kelompok-kelompok Islam pada saat itu sehingga menyulitkan kerja administrasi bagi petugas dan kepala-kepala desa.[51] Dengan demikian pertentangan yang muncul akibat Ahmadiyah Lahore dan keruwetan antara Muhammadiyah dengan Sarekat Islam selama tahun 1920-an mendorong Pemerintah Belanda menaruh perhatian pada kemajuan Ahmadiyah Lahore di Indonesia.
Muhammadiyah merasa kecewa atas kesalahpahaman mereka terhadap aspek-aspek pengajaran gerakan Ahmadiyah sehingga terjadi persaudaraan dengan Ahmadiyah yang cukup akrab pada awalnya. Menurut laporan resmi mereka, Wali Ahmad Baig pada mulanya hanya menunjukkan kepada Muhammadiyah mengenai pengajaran-pengajaran di sekolahannya secara umum dan tidak mengemukakan doktrin-doktrin Ahmadiyah Lahore yang menyimpang dari kepercayaan Islam secara umum.
Adapun Wali Ahmad Baig sendiri bersikap mengelak mengenai motif kedatangannya ke Indonesia dan merahasiakan aspek-aspek pemikiran Ahmadiyah Lahore yang kontoversial. Oleh karena itu, tokoh-tokoh Muhammadiyah terlambat mengetahui doktrin-doktrin Ahmadiyah Lahore yang bertentangan dengan Islam secara umum, khususnya masalah peranan Mirza Ghulam Ahmad dalam Ahmadiyah. Pemahaman mereka terhadap ajaran yang dibawa Wali Ahmad Baig tidaklah berputar-putar sebagaimana orang-orang Islam Sumatra memahami kepercayaan Ahmadiyah Qadian. Dengan demikian, kegagalan para tokoh Muhammadiyah untuk memahami Ahmadiyah dengan cepat pada awal kemunculannya menunjukkan kurangnya hubungan baik antara tokoh-tokoh Islam Sumatra yang telah mengenal ajaran Qadian lebih dulu dengan kepemimpinan Islam di Jawa.
Meskipun pada beberapa tahun pertama hubungan antara Muhammadiyah dan Ahmadiyah tampak sangat ramah dan akrab, dalam perkembangannya, terutama mulai tahun 1926, Muhammadiyah mulai menjaga jarak dengan Ahmadiyah.[52] Hal ini terjadi setelah Muhammadiyah mengetahui bahwa Ahmadiyah telah menyimpang dari sunnah yang benar seperti yang dianut oleh Muhammadiyah.[53] Selain terdapat perbedaan-perbedaan doktrin tertentu dengan Ahmadiyah Qadian secara sangat prinsipil, ada juga penafsiran-penafsiran kaum Ahmadiyah Lahore, misalnya tentang Nabi Isa as. Nabi Adam as. Mukjizat, wahyu, Isra’ Mi’raj, dan beberapa hal tentang surga dan neraka yang tetap dirasakan “terlalu jauh”.[54]
Sumber lain menyatakan bahwa perubahan sikap Muhammadiyah terhadap Wali Ahmad Baig dan Ahmadiyah Lahore terjadi pada tahun 1972 ketika seorang ulama dari India, Abdul Alaim Siddiqi, datang ke Yogyakarta untuk bertemu dengan tokoh-tokoh Islam.[55] Ia datang sebelum Konggres NU di Surabaya dan Konferensi Muhammadiyah di Yogyakarta diselenggarakan. Ketika itu ia menjelaskan penyimpangan-penyimpangan ajaran Ahmadiyah. Selain itu ia juga diberi kesempatan untuk mengisi pengajian umum yang diselenggarakan Muhammadiyah. Pada saat itulah Abdul Alim Siddiqi menunjukan sikap kurang bersahabat, bahkan menyerang Ahmadiyah secara habis-habisan, baik Qadian maupun Lahore.[56]
Uraian Abdul Alim mendapat sambutan hangat dan memperoleh tempat di hati sebagian tokoh Muhammadiyah. Hal ini antara lain dapat dibuktikan dari isi “Pandangan tentang agama Islam dan pergerakan Ahmadiyah” yang dimuat dalam Berita Tahunan Muhammadiyah Hindia Timur tahun 1927 dan Al-Manak Muhammadiyah ke-5 tahun 1347/1928.
            “(Kedatangan, ed.) Abdul Alim, orang yang banyak ilmunya dari Britisch di Yogyakarta, membuat riuhnya suara dan gaduhnya keadaan yang mengkhawatirkan. Kaum Ahmadiyah (Lahore, ed.) yang dilindungi Muhammadiyah itu telah mendakwa yang tidak patut kepada PB dan berbuat yang tidak senonoh.
Ahmadiyah terkupas kulitnya oleh keterangan Abdul Alim sehingga nyatalah bahwa itikad dan faham Ahmadiyah berbeda dengan itikad dan faham ulama Islam yang terdahulu. Buat Muhammadiyah sudah dari dahulu Muhammadiyah adalah Muhammadiyah, tidak Ahmadiyah dan tidak juga perkumpulan Abdul Alim.[57]

Hal ini terjadi karena mubaligh Ahmadiyah Qadian sejak pertama kali masuk ke Sumatra telah menyampaikan ajaran Ahmadiyah secara terang-terangan dan siap melakukan perdebatan dengan kaum muslimin sehingga langsung mendapat reaksi dari tokoh Islam. Sementara itu, mubaligh Ahmadiyah Lahore, dalam penampilan awal lebih menampakkan kerendahan hati. Sasaran awalnya hanya sekelompok pemuda yang jumlahnya tidak banyak, melalui pengajaran bahasa Inggris yang pada saat itu relatif belum banyak yang menguasai. Sasaran berikutnya baru masyarakat Islam Jawa, khususnya di kalangan Muhammadiyah. Adapaun ajaran Ahmadiyah yang asli tidak ditampakkan dengan jelas sehingga tokoh-tokoh Islam memberikan respon memberikan respon simpatik tanpa menaruh kecurigaan (walaupun dalam perkembangannya mereka mengambil jarak, bahkan bersikap menentang setelah mengetahui ajaran yang sebenarnya).
Di samping itu, ajaran Ahmadiyah Lahore secara umum dipandang tidak begitu Kontroversial jika dibanding dengan ajaran Ahmadiyah Qadian. Ahmadiyah Lahore tidak mengenalkan Mirza Ghulum Ahmad sebagai nabi, tetapi hanya sebagai mujaddid, serta tidak memandang kafir terhadap orang di luar Ahmadiyah. Meski demikian, kedua Ahmadiyah tersebut dapat menarik simpatik pada awal kemunculannya, khususnya di kalangan kaum muda. Ketertarikan ini karena tawaran kajian Islam yang lebih modern dalam arti lebih rasional dan liberal, walaupun di dalam perkembangan tetap menimbulkan konflik dan mendapat perlawanan keras dari kaum muslimin.
Uraian tersebut, apabila dikaitkan dengan teori Challnge and Respond dari Arnold J. Toynbee dalam bukunya A Study of History,  tidaklah dapat dipungkiri bahwa kehadiran Ahmadiyah di Indonesia baik Ahmadiyah Qadian maupun Ahmadiyah  Lahore, merupakan sebuah tantangan bagi umat Islam Indonesia, khusuanya para ulama dan tokoh-tokoh Islam. Apalagi setelah ada respon dari sebagian masyarakat Islam yang menyatakan diri mengikuti paham Ahmadiyah atau setidak-tidaknya menjadi simpatisan.

C.        Peranan Gerakan Ahmadiyah Dalam Membawa Pembaruan Islam di Indonesia
a.         Bidang Pendidikan
Ahmadiyah, baik aliran Qadian maupun aliran Lahore, telah mengembangkan bidang pendidikan. Ahmadiyah aliran Qadian di Indonesia yang sekarang dikenal dengan Jema’at Ahmadiyah Indonesia dalam usahanya di bidang pendidikan meliputi dua macam sekolah, yaitu sekolah agama dan sekolah umum. Pendidikan yang berbentuk sekolah agama terdiri atas tiga tingkatan madrasah, yakni Madrasah Diniyah Awaliyah (tingkat dasar), Madrasah Diniyah Wustho (tingkat menengah) dan Jami’ah (akademi). Sedangkan pendidikan berbentuk sekolah umum hanya berupa Taman Kanak-Kanak (TK).
Madrasah Diniyah Awaliyah Ahmadiyah aliran Qadian berjumlah 9 (sembilan) buah. Madrasah-madrasah ini tersebar di 9 tempat, yaitu Cisalanda (Bogor), Parakan (Sukabumi), Citalahap (Sukabumi), Cibitung (Bogor), Singaparna (Tasikmalaya), Manis Lor (Kuningan), Krucil (Banjarnegara), Pancor (Lombok Timur), dan Ciparai (Cianjur). Lokasi-lokasi tersebut sebagian besar berada di wilayah Provinsi Jawa Barat. Hanya ada dua lokasi saja yang berada di luar provinsi ini, yaitu Kruncil dan Pancor. Kruncil termasuk dalam wilayah Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah dan Pancor terletak di wilayah Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Madrasah Diniyah Wustho yang dimiliki Ahmadiyah Qadian hanya satu buah. Madrasah ini terletak di Wanasigra, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Jami’ah Ahmadiyah aliran Qadian juga hanya berjumlah satu buah. Jami’ah ini terletak di Parung, Bogor, Jawa Barat. Jami’ah ini sekarang dikenal dengan Jami’ah Ahmadiyah. Jami’ah ini muncul pertama kali pada tahun 1974 di Tasikmalaya. Semula dalam bentuk Kursus Kader Pembina Mubaligh disingkat KKPM. Kursus ini diikuti 11 orang dan waktunya satu tahun. Dari 11 orang peserta, 10 orang dinyatakan lulus dan yang satu orang dinyatakan tidak lulus. Di antara 10 orang yang lulus, 5 orang meneruskan sekolah mubaligh di Al-Jami’yatul Ahmadiyah di Rabwah, Pakistan. Sementara itu, 5 orang yang lain menjadi Mu’allim (Guru Agama) di Indonesia. Mereka yang meneruskan sekolah mubaligh di Rabwah setelah kembali ke Indonesia semuanya menjadi mubaligh. Mereka itu adalah Abdul Safar Rauf, Ahmad Hidayatullah, Imam Tauhid, Basyirudin, dan Ataurrazaq.
Kursus tersebut hanya berlangsung satu tahun, yakni hanya sampai tahun 1975. Baru 5 tahun kemudian, yakni tahun 1980 dimulai lagi di Tasikmalaya dengan nama Kursus Mu’allimin yang diikuti 10 orang murid. Seperti kursus sebelumnya, kursus tersebut berlangsung selama satu tahun. Mereka semua setelah selesai kursus diangkat menjadi mubaligh di Indonesia.
Pada angkatan berikutnya, tahun 1981 / 1982, diadakan Kursus Mu’allimin dan Mu’allimat dengan jumlah murid 20 orang terdiri dari 15 orang murid laki-laki dan 5 orang murid perempuan. Pelaksanaan kursus itu tidak lagi di Tasikmalaya melainkan di Bandung. Kemudian pada tahun 1982 / 1983, kursus tetap dilaksanakan di Bandung, tetapi namanya diubah menjadi Kursus Mubaligh Mu’allimin dan Mu’allimat di singkat KM3. waktunya tidak lagi satu tahun, tetapi tiga tahun. Jumlah muridnya sama dengan angkatan sebelumnya, yakni 20 orang terdiri dari 15 orang laki-laki dan 5 orang perempuan. Dalam perkembangannya, KM3 ini diusulkan ke Thariqul Jadid di Rabwah, Pakistan untuk diresmikan menjadi Jami’ah Ahmadiyah Indonesia.
Pada tahun 1983, Jami’ah Ahmadiyah Indonesia secara resmi berdiri di Bandung dengan direktur Maulana Abdul Malik dari Pakistan. Sejak 17 Agustus 1985, Jami’ah ini tempatnya dipindah dari Bandung ke Parung, Bogor, Jawa Barat. Berhubung Maulana Abdul Malik ditarik ke Pakistan, ditunjuklah Suyuti Aziz Ahmad menjadi direktur untuk mengelola Jami’ah sampai sekarang. Rata-rata muridnya setiap angkatan 20 orang. Sejak tahun 1997, masa studi Jami’ah ditingkatkan dari tiga tahun menjadi lima tahun, setaraf dengan jenjang S-1 di perguruan tinggi.
Jumlah muridnya saat ini sebanyak 60 orang. Mereka semua ditempatkan di asrama tanpa dipungut biaya. Fasilitas lain yang diterima siswa secara cuma-cuma adalah makan, pakaian, uang saku dan buku. Adapun materi pokok dalam perkuliahan, antara lain Al-Qur’an, Hadits, Perbandingan Agama, Akidah Ahmadiyah, Fiqh, dan Bahasa (Arab, Inggris, dan Urdu).[58]
Sekolah Taman Kanak-Kanak Jema’at Ahmadiyah Indonesia hanya berjumlah satu buah, yakni sekolah Taman Kanak-Kanak Siti Khadijah. Sekolah ini berada di Tasikmalaya, Jawa Barat. Sekolah Menengah Pertama juga hanya satu buah, yakni SMP Bakti yang berada di Desa Manis Lor, Kuningan, Jawa Barat. Begitu juga Sekolah Menengah Atas hanya satu buah, yakni SMU Plus Al-Wahid yang berada di Desa Wanadigra, Tasikmalaya, Jawa Barat.[59]
Ahmadiyah aliran Lahore yang sekarang ini dikenal dengan nama Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia telah mengembangkan lembaga pendidikan terbatas hanya sekolah umum. Sekolah tersebut mencakup Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Akademi. Sekolah-sekolah ini dikelola oleh sebuah yayasan bernama Yayasan Pendidikan Islam Republik Indonesia disingkat PIRI yang berpusat di Yogyakarta. Yayasan PIRI mempunyai tiga cabang, yakni di Purwokerto, Lampung, dan Sumatra Selatan.[60]
Sekolah umum menengah tingkat pertama yang dimiliki Ahmadiyah aliran Lahore hanya satu jenis, yaitu Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMP). Sekarang ini Ahmadiyah aliran Lahore telah memiliki 9 (sembilan) unit sekolah SMP yang dikenal dengan nama SMP PIRI. Kesembilan SMP PIRI tersebut tersebar di daerah Istimewa Yogyakarta dan di cabang-cabang. Di daerah Istimewa Yogyakarta terdapat 7 SMP PIRI dengan rincian 5 di Kotamadya Yogyakarta, 1 di Kabupaten Sleman, dan 1 di Kabupaten Bantul. Ada 2 yang terdapat di cabang, masing-masing di Purwokerto 1 unit dan di Lampung 1 unit. Kesembilan SMP tersebut untuk tahun ajaran 2000/2001 memiliki murid sebanyak 3445 orang.
Guru-guru yang bertugas di SMP PIRI berjumlah 173 orang. Jumlah tersebut meliputi guru pengasuh seluruh bidang studi. Mereka yang mengajar di SMP PIRI terdiri dari guru-guru bantuan pemerintah dan guru-guru swadaya Yayasan PIRI berjumlah 123 orang. Hal itu menunjukkan bahwa sebagian besar guru SMP PIRI merupakan guru swadaya.
Ahmadiyah aliran Lahore memiliki 5 Sekolah Menengah Umum (SMU) dan 5 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sekolah Menengah Kejuruan ini merupakan peleburan dari SMKK, STM dan SMEA. Dilihat dari penyebarannya, sekolah-sekolah tersebut sebagian besar berada di Daerah Istimewa Yogyakarta. SMU PIRI tersebar di 3 daerah, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta 3 unit, terdiri dari SMU I, SMU II, dan SMU III, di Lampung 1 unit, dan Sumatra Selatan 1 unit. Adapun SMK di Kotamadya Yogyakarta terdapat 3 unit, masing-masing SMK I, SMK II, dan SMK III, masing-masing di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, dan Purwokerto.
Untuk tahun ajaran 2000/2001, SMU PIRI-termasuk yang berada di daerah Lampung dan Sumatra Selatan-memiliki murid sebanyak 1984 orang dengan jumlah guru 141 orang. Guru-guru yang bertugas di SMU PIRI sebagian besar tidak tetap, sedangkan guru negeri bantuan pemerintah hanya 25 orang. Untuk SMK PIRI, jumlah murid termasuk SMK PIRI Purwokerto 3052 orang dengan jumlah guru 141 orang. SMK PIRI hanya memiliki 41 guru negeri bantuan dari pemerintah, sedangkan yang lainnya berstatus guru tidak tetap, termasuk guru yayasan.
Mengenai perguruan tinggi, Ahmadiyah aliran Lahore telah memiliki sebuah akademi, yakni Akademi Teknik PIRI (ATEKPI) yang sebelumnya bernama Akademi Informatika dan Manajemen disingkat AIM-PIRI. ATEKPI memiliki dua program Diploma III, yakni Teknik Sipil Diploma III dan Teknik Informatika Diploma III. Pada tahun akademik 2000/2001, ATEKPI memiliki mahasiswa 93 orang dengan rincian 74 orang mengikuti program Teknik Informatika dan 19 orang mengikuti program Teknik Sipil. Sejak berdiri pada 1993, akademi ini telah meluluskan 119 orang untuk jurusan Teknik Informatika dan 25 orang jurusan Teknik Sipil.

b.         Bidang Organisasi
Dalam uraian bab sebelumnya telah dikemukakan Ahmadiyah aliran Qadian masuk di Indonesia tahun 1925 dibawa mubaligh bernama Maulana Rahmat Ali H.A.O.T. Ia dipandang sebagai tokoh perintis Jema’at Ahmadiyah Indonesia. Jema’at ini merupakan bagian dari jema’at yang dulu berpusat di Qadian, India, yang sesudah tahun 1943 berpusat di Rabwah, Pakistan sampai sekarang.
Dalam perjalanannya setelah 10 tahun tumbuh dan berkembang, Ahmadiyah dapat membentuk pengurus besar. Selama periode 1925-1942, organisasi ini belum banyak memiliki cabang. Namun pada tahun 1994 telah berdiri 182 cabang. Pada tahun 2000, berdasarkan data dari pengurus besar Jema’at Ahmadiyah Indonesia berpusat di Parung Bogor, Jawa Barat, Ahmadiyah telah memiliki 250 cabang di seluruh Indonesia. Cabang-cabang tersebut meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sumatera (Utara, Barat, dan Selatan), Lampung, Kalimantan (Timur dan Selatan), Bali, NTB , NTT, Sulawesi dan Papua Nugini. Di antara sekian cabang, Jawa Baratlah yang paling banyak jumlahnya mencapai sekitar 100 cabang. Jumlah anggota jema’at untuk seluruh Indonesia – berdasarkan laporan Imam Nasional, Muhammad Luis Maala ada sekitar 600 ribu orang.
Mengenai perkembangan untuk seluruh dunia, Ahmadiyah aliran Qadian pada tahun 1994 telah tersebar di 35 negara dan pada tahun 2000 telah mencapai 160 negara yang meliputi 5 benua. Dari jumlah keanggotaan, dewasa ini Ahmadiyah aliran Qadian memiliki anggota sekitar 50 juta di seluruh dunia. Berdasarkan laporan Khalifah IV, Mirza Tahir Ahmad dalam Jalsa Salana (Annual Convention) ke-35 Ahmadiyya Muslim Jama’at United Kingdom di Islamabad, London, Juli 2000, yang telah menyatakan masuk Ahmadiyah pada tahun 2000 dan dibaiat sebanyak 10 juta orang. Dalam Jalsa Salana ke-35 yang dihadiri sekitar 23.000 peserta dari 70 negara yang hadir, Khalifah IV secara simbolik telah melakukan pembaiatan secara massal. Dari segi jumlah pengikut, Negara yang paling banyak pengikutnya adalah di wilayah Afrika, sedangkan Indonesia termasuk urutan kedua. Dengan demikian, Indonesia termasuk lahan subur bagi Ahmadiyah.[61]
Ahmadiyah aliran Lahore datang ke Indonesia pada tahun 1924, satu tahun sebelum kedatangan Ahmadiyah Qadian. dewasa ini, Ahmadiyah aliran Lahore hanya memiliki anggota sekitar 2000 orang dan memiliki 19 cabang, yakni cabang Yogyakarta, Sleman, Bantul, Wonosobo, Purbolinggo, Banyumas, Purwokerto, Solo, Magelang, Semarang, Blitar, Kediri, Madiun, Magetan, Ngawi, Bandung, Jakarta, Tanjung Karang, dan OKU (Sumatra Selatan).[62] Jumlah cabang tersebut sebagian besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dengan demikian perkembangan Ahmadiyah Lahore dewasa ini jika dibandingkan Ahmadiyah Qadian terlalu jauh selisihnya, baik dari segi jumlah pengikut maupun cabangnya. Hal ini terjadi antara lain, disamping Ahmadiyah Lahore secara struktural tidak terkait dengan Ahmadiyah Anjuman Isha’ati Islam yang berpusat di Lahore, juga disebabkan system kaderisasi yang lemah. Meski demikian, Ahmadiyah Lahore telah menonjol dalam bidang pendidikan melalui Yayasan PIRI yang telah memiliki sekolah-sekolah sejak dari Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi.

c.         Hubungan Ahmadiyah dengan Pemerintah

Jema’at Ahmadiyah Indonesia berdiri sejak tahun 1925 dan diakui Pemerintah Republik Indonesia cq. Menteri Kehakiman Republik Indonesia sebagai badan hokum. Hal itu tercantum dalam penetapannya tertanggal 13-03-1953, nomor JA.5/23/13 yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 22 tanggal 31 Maret 1953 diubah dengan akta perubahan yang telah diumumkan di dalam Berita Negara Nomor 3 tahun 1989; dan Tambahan Berita Negara Nomor 65 tanggal 15 Agustus 1989. Pengakuan itu diperkuat dengan pernyataan Departemen Agama Republik Indonesia tertanggal 11 Maret 1968 tentang hak hidup seluruh organisasi agama di Indonesia bagi yang telah disahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya secara resmi oleh Menteri Kehakiman sebagai badan hokum. Demikian juga Ahmadiyah aliran Lahore, sejak tahun 1929 telah berbadan hukum sebagaimana telah dikemukakan dalam bab sebelumnya.
Meski demikian, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional ke II yang berlangsung di Jakarta tanggal 26 Mei sampai dengan 1 Juni 1980 telah mengeluarkan fatwa yang isinya antara lain bahwa Ahmadiyah adalah Jema’at di luar Islam, sesat, dan menyesatkan. Sampai sekarang Ahmadiyah aliran Qadian masih belum diakui eksistensinya oleh Majelis Ulama Indonesia. Sikap Majelis Ulama tersebut, menurut pandangan Jema’at Ahmadiyah Indonesia dipandang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 beserta peraturan perundangan yang lain dan juga dengan pidato dan pengarahan dari Presiden RI, Menteri Agama RI, dan para pejabat pemerintahan.[63]
Alasan pelarangan itu dipandang bertentangan dengan Pancasila karena menurut Ahmadiyah, sila pertama Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sila ini pada prinsipnya menekankan bahwa seseorang atau badan yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa terjamin kelangsungan hidupnya di Negara Republik Indonesia. Pancasila tidak menentukan apakah Ketuhanan Yang Maha Esa itu di dalam atau di luar Islam, di dalam atau di luar Kristen, di dalam atau di luar Budha. Semua itu tercakup dalam rangkuman sila pertama Pancasila.[64]
Adapun alasan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, di dalam pasal 29 ayat 1 ditegaskan bahwa “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan dalam ayat 2 “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”. Ahmadiyah juga mendasarkan pada penjelasan mengenai pasal 29 ayat 2 bahwa kebebasan beragama merupakan salah satu hak yang paling asasi diantara hak-hak asasi manusia.
Pada masa Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid yang biasa dipanggil Gus Dur, situasi jadi berubah. Suatu hal yang dinilai positif dalam pemerintahan Gus Dur adalah komitmennya terhadap hak seseorang untuk beragama. Ia memberi peluang secara terbuka kepada aliran-aliran dalam agama atau agama-agama yang sebelumnya dinyatakan terlarang. Djohan Efendi, Sekretaris Negara yang mantan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama RI, menyatakan bahwa Presiden Abdurrahman Wahid memberikan iklim lebih terbuka karena ia adalah orang yang sangat pluralis. Di samping itu, Djohan berpendapat bahwa bentuk pemahaman seseorang terhadap agama atau bukan agama tidak dapat dilarang pemerintah.[65] Dewasa ini sikap pemerintah, termasuk Majelis Ulama Indonesia, tidak melarang keberadaan Ahmadiyah. Meski demikian, menurut KH. Irfan Zidny – Ketua Komisi Fatwa MUI DKI yang juga pengurus Lembaga Kajian dan Konsultasi Syari’ah Islam MUI – masih tetap mengajukan agar umat Islam mewaspadai aliran ini. Ia juga mengatakan, “Dalam soal-soal yang berhubungan dengan urusan duniawi, kita bias bekerja sama dengan organisasi mereka. Toh itu sangat baik dilakukan, bahkan dengan siapa pun. Namun, dalam soal teologis kita tetap mengatakan Ahmadiyah Qadian itu menyalahi ajaran Islam.[66]
Menurut Direktur Internasional Forum on Islamic Studies (IFIS) yang juga Ketua Muhammadiyah, Dawan Raharjo, kehadiran Ahmadiyah adalah contoh yang baik. Organisasinya ditata secara baik dan mandiri. Mereka menjaga diri dari hiruk pikuk politik, tetapi bukan tidak peka terhadap politik. Lebih lanjut, ia menyatakan, “Kita mestinya bisa bekerja sama dengan organisasi ini dan memiliki apresiasi yang besar terhadapnya.[67]
Sementara dalam Ensiklopedi Islam Indonesia yang disusun Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diketuai Prof. Dr. Harun Nasution dikemukakan :

“Sebenarnya, kedua golongan Ahmadiyah itu tetap percaya penuh kepada kitab suci Al-Qur’an Karim dan Sunnah Nabi Muhammad. Mereka beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhirat, dan Takdir-Nya, serta berpegang kepada rukun Islam yang lima : mengakui dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa pada bulan Ramadhan, dan naik haji. Pendeknya, kitab Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang mereka pegang tidak berbeda dengan yang dipegang umat Islam. Mereka yakin bahwa Nabi Muhammad adalah Khatamul Anbiya, namun mereka (Qadian) mentakhsiskan atau menyempitkan artinya menjadi penutup nabi-nabi yang membawa syariat. Nabi-nabi yang tidak membawa syari’at masih dibutuhkan kehadirannya pada masa-masa sesudah Nabi Muhammad. Mereka juga percaya pada hadits nabi yang berbunyi Ia nabiyya ba’di (tidak ada nabi sesudahku), tetapi mereka sempitkan artinya menjadi “tidak ada nabi yang menyalahi atau menentangku”. Dengan demikian, tidak dinafikan adanya nabi-nabi yang akan mendukung ajaran Nabi Muhammad seperti adanya banyak nabi-nabi sesudah Nabi Musa yang bertugas menegakkan syari’at Nabi Musa”.[68]

Berbagai aliran atau agama sebelum pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid tidak berani muncul secara terang-terangan. Kini, semuanya tampil dengan gagah berani tanpa rasa takut. Aliran keagamaan yang dimaksud antara lain ahmadiyah (khususnya Ahmadiyah aliran Qadian), Syi’ah, dan Baha’i.
Sebagaimana telah dikemukakan dalam pembahasan sebelumnya sejak Majelis Ulama Indonesia (1980) menempatkan Ahmadiyah (Qadian) sebagai aliran sesat dan berada di luar Islam, praktis gerakan Ahmadiyah – khususnya aliran Qadian – makin menyempit. Kendati begitu, mereka terus menyebarkan agama secara bersembunyi. Akan tetapi, setelah reformasi bergulir, mereka tidak lagi takut menampakkan jati diri. Dewasa ini, Ahmadiyah telah mendapat simpati dari Presiden Abdurrahman Wahid. Terbukti pada masa pemerintahannya Gus Dur telah menerima kedatangan Mirza Thahir Ahmad, Imam sekaligus Khalifah IV jema’at Ahmadiyah sedunia yang berdomisili di London, Inggris. Dalam catatan sejarah, kedatangan seorang khalifah Ahmadiyah ke Indonesia belum pernah terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. Hal itu baru terjadi pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Pada tanggal 28 Juni 2000, Presiden Abdurrahman Wahid menerima Imam Ahmadiyah (Qadian) Internasional, Mirza Thahir Ahmad di Bina Graha, Jakarta. Pada kesempatan itu, Mirza Thahir Ahmad datang bersama Amir (Ketua Nasional) Jema’at Ahmadiyah Indonesia (Muhammad Lius Maala), Ketua Urusan Luar Negeri (Dr. Ir. Munawar), dan Direktur IFIS (Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo). Dalam pertemuan tersebut, Presiden Abdurrahman Wahid meminta umat Islam yang menjadi Jema’at Ahmadiyah agar ikut membantu berbagai persoalan yang dihadapi umat Islam Indonesia. Ahmadiyah juga diminta ikut membantu pemerintah dalam upaya memerangi narkoba, korupsi, serta meningkatkan kerukunan antarumat beragama.[69] Dalam pertemuan yang bersifat kekeluargaan tersebut, Presiden RI dan Khalifah Ahmadiyah menjalin doa keselamatan. Kedua pemimpin ini saling mendoakan semoga Allah SWT. memberikan kesuksesan dalam menjalankan visi dan misi yang diemban masing-masing, sekarang, dan di masa yang akan datang. Di samping itu, Mirza Thahir Ahmad mendoakan Presiden Abdurrahman Wahid agar Allah SWT. menyembuhkan penyakit mata yang dideritanya selama ini.[70]
Mirza Thahir Ahmad selain bertemu dengan Presiden RI juga bertemu dengan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pada tanggal 21 Juni 2000, Imam Jema’at Internasional, Mirza Thahir Ahmad, diterima Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Prof. Dr. H. M. Amien Rais, yang notabene juga mantan Ketua PP Muhammadiyah, di gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, mereka telah mendiskusikan berbagai isu penting, termasuk agenda revitalisasi pemikiran Islam di era global dewasa ini.[71]
Mengenai syi’ah di Indonesia, semula memang tidak jelas keberadaannya. Sebelum pemerintahan Gus Dur, kehadiran Syi’ah di Indonesia antara ada dan tidak. Posisinya sama seperti Ahmadiyah yang selalu di pinggiran, banyak yang mencibirkannya. Tokohnya pun tidak mau muncul secara terang-terangan. Bahkan, Jalaluddin Rakhmat – pemimpin Yayasan Muthahhari, Bandung dan ahli komunikasi massa yang disebut-sebut sebagai tokoh Syi’ah – selalu mengelak kalau dirinya dibilang penganut Syi’ah. Namun, pada era pemerintahan Gus Dur, ia bersedia membuka jati dirinya. Dia memberikan ungkapan dalam bentuk kiasan “Sebagai ibu, beberapa saat saya harus menderita karena harus menyembunyikan kandungan ini. Pada saatnya, bayi ini harus saya lahirkan”. Dengan prakarsa Jalaluddin Rakhmat, telah dideklarasikan berdirinya sebuah wadah bernama Ikatan Jama’ah Ahlul Bait (IJABI). Deklarasi tersebut dilaksanakan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 1 Juli 2000 yang dihadiri sekitar 2000 orang dari segenap pelosok tanah air. Menurut Jalaluddin Rakhmat, IJABI adalah organisasi kemasyarakatan yang menghimpun kaum Syi’ah di Indonesia. Ia juga menyatakan bahwa IJABI tidak sepenuhnya menampung Syi’ah. Organisasi ini terbuka bagi semua madzhab dan aliran. Penganut Ahlul Bait di Indonesia saat ini kurang lebih tiga juta orang. Adapun misi IJABI adalah menghimpun semua pecinta Ahlul Bait dari madzhab manapun. Selain itu, IJABI juga berusaha menampilkan gerakan intelektual dalam pencerahan pemikiran Islam. Menurut Jalaluddin Rakhmat, IJABI sama sekali tidak akan bermain dalam politik. Dalam IJABI, Jalaluddin Rakhmat memegang jabatan Ketua Dewan Syuro. Dewan Syuro tersebut beranggotakan 12 orang, antara lain ada Haidar Bagir (Pengusaha Penerbitan Mizan) dan Muchtar Adam (Aktivis Partai Amanat Nasional di Jawa Barat). Sementara itu, tokoh yang terpilih sebagai Ketua Tanfidziyah IJABI adalah Dr. Damitri Mahayana, dosen jurusan Teknik Electri ITB.[72]
Mengenai aliran Baha’i, di Indonesia penganutnya relative kecil dibandingkan Ahmadiyah dan Syi’ah. Pengikut aliran ini diduga baru dalam angka ribuan. Namun, kehadiran Baha’i di Indonesia sudah cukup meresahkan. Aliran ini dipelopori oleh Mirza Husein Ali, seorang ulama dari Persia yang mengaku dirinya sebagai baha’ullah (kemuliaan Allah). Aliran ini masuk ke Indonesia lewat Sulawesi sekitar tahun 1978. Sementara Ahmadiyah baru tahun 1924. bahkan, di India sendiri, Ahmadiyah pada tahun itu belum lahir – Ahmadiyah lahir di India tahun 1888 / 1889. Jadi, jaraknya terlalu jauh.
Penyebaran aliran Baha’i pada awalnya dilakukan dua orang pedagang bernama Jamal Effendy dan Mustafa Rumi. Mereka diduga berasal dari Persia dan Turki. Dari Sulawesi, ajaran ini menyebar ke tempat lain. Ajaran mendasar aliran Baha’i adalah sinkretisme agama. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dari kehebohan di kampung Cimenteng, Cimaung, Bandung. Mula-mula ada seorang ustadz, bernama Suherman Maulana yang menyebarkan agama Islam sambil meneteng sebuah buku. Isi buku itu membuat heboh masyarakat. Selain mengakui Allah dan Muhammad sebagai Tuhan dan Rasul, buku itu juga mengajarkan bahwa semua agama yang ada di dunia ini berasal dari Tuhan. Oleh karena itu, selain mengakui Muhammad sebagai Rasul, manusia juga harus percaya kepada kenabian Zoroaster, Khrisna, Budha, dan tentu saja Baha’ullah. Setelah warga kampung itu ribut, Suherman tidak berani muncul lagi.
Dalam perkembangannya, Baha’i mendapat hambatan pahit. Bahkan pada tanggal 15 Agustus 1962 Presiden Sukarno mengeluarkan keputusan melarang ajaran Baha’i. Larangan itu dilakukan karena Baha’i dinilai tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, menghambat revolusi dan bertentangan dengan cita-cita sosialisme Indonesia. Dewasa ini, setelah revolusi bergulir, Baha’i dapat bernafas kembali. Mereka tidak lagi takut menampakkan jati diri. Presiden Abdurrahman Wahid sendiri telah menaruh simpati. Terbukti pada tanggal 21 Maret 2000, Gus Dur pernah hadir di tengah penganut Baha’i di Jalan Menteng, Jakarta Pusat. Dalam pertemuan itu, Gus Dur mengucapkan naw-ruz, salam kaum Baha’i.[73]

d.                  Terobosan Melalui Seminar, Dialog, Kajian Buku, Penerjemahan Al-Qur’an dalam 100 bahasa, dan MTA

Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Ahmadiyah – khususnya aliran Qadian – melakukan dakwahnya dewasa ini bukan hanya melalui pengajian-pengajian, ceramah-ceramah, dan publikasi. Hal itu juga dilakukan melalui berbagai kajian ilmiah dalam bentuk seminar – termasuk seminar yang melibatkan berbagai kalangan perguruan tinggi – dialog, bedah buku, penerjemahan Al-Qur’an ke dalam 100 bahasa dan pemanfaatan media elektronik.
1.         Kegiatan Seminar
Kedatangan khalifah IV ke Indonesia juga telah dimanfaatkan oleh beberapa perguruan tinggi. Sebagai contoh, Universitas Negeri Yogyakarta bekerja sama dengan International Forum on Islamic Studies (IFIS) yang diketuai Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo mengadakan seminar internasional yang bernuansa Islam. Seminar yang dilaksanakan pada tanggal 24 Juli 2000 di gedung Graha Sabha UGM ini mengambil tema “Revitalisasi Persatuan Umat Islam di Era Milenium III”.
Seminar internasional yang dihadiri sekitar 1300 peserta ini menampilkan beberapa pemakalah, antara lain Imam Ahmadiyah sedunia, Hazrat Mirza Thahir Ahmad, Dr. Komaruddin Hidayat, Prof. Dr. Said Agil Siraj, dan Dr. Munir Mulkan. Bertindak sebagai moderator adalah Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo dan Dr. Fachry Ali.
Khalifah IV, Mirza Thahir Ahmad yang akrab dijuluki Huzur dalam makalahnya yang bertopik “The New Paradigma of Islamic Thought in The Globalization Era“ menyerukan agar persatuan dan kesatuan umat Islam diwujudkan dalam kehidupan. Ia mengatakan bahwa musuh yang paling berbahaya di era globalisasi sekarang adalah munculnya kelompok yang selalu menggembor-gemborkan kekerasan dan menjalankan aksinya sehingga timbul teroris di mana-mana.
Kegiatan seminar lain yang melibatkan Ahmadiyah (Qadian) antara lain :
a.                  Tanggal 16 Februari 1995, sminar “Media : Etika Komunikasi dan Format Siaran Pertelevisian Muslim di Indonesia” di kampus Universitas Gadjah Mada dalam acara Ramadhan. Sebagai pembicara Dr. Fahmi Alatas dari Televisi Pendidikan  Indonesia (TPI), Ihsar, SE, Direktur Keuangan Rajawali Citra Televisi (RCTI) dan Munawar Ahmad Aziz dari Muslim Television Ahmadiyah (MTA).
b.                  Tanggal 13 Juli 1995, seminar sehari tentang “Kebangkitan Islam dan Pengetasan Kemiskinan Perspektif Sosiologis dan Hadist Turunnya Nabi Isa a.s” seminar ini diselenggrakan bersama PMII cabang Yogyakarta di Hotel Internasional Yogyakarta. Sebagai  pembicara Dr. Said Agil Siraj, Drs. Masdar F. Mas’udi. Drs. Ali Abu Bakar Basamalah. M.A. (Ahmadiyah) dan Munawar Ahmad Aziz, SH, (Ahmadiyah).
c.                  Tanggal 5 Desembar 1996, Seminar Nasional tentang “Peradaban Islam Menyongsong Millennium III”. Seminar ini diselenggarakan Senat Mahasiswa IAIN Wali Songo Semarang. Sebagai pembicara, antara lain Munawar Ahmad Aziz, SH  dari Ahmadiyah.
d.                 Tanggal 20 Oktober 1997, seminar sehari tentang “Islam dan Melenium III :Tantangan dan Harapan” seminar ini diselenggrakan Teater Getar Sekolah Tinggi Agama Islam Salatiga. Bertindak sebagai pembicara antara lain Drs. Iman Aziz (Generasi Muda NU) dan Munawar Ahmad Aziz, SH. (Jema’at Ahmadiyah).
e.                  Tanggal 14 Oktober 1999, seminar nasional tentang “Revitalisasi Nilai Tauhid Untuk Kebangkitan Umat Dalam Pluralitasi Peradaban Modern”. Seminar yang dihadiri 300 orang ini diselenggarakan HMI cabang Malang di Universitas Gejayana. Sebagai pembicara adalah Munawar Aziz, SH dari Jema’at Ahmadiyah.
f.                   Tanggal 15 April 1999, Panel Forum tentang “Agama dan Politik Kekerasan”. Panel ini diselenggarakan Kordiska IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan dihadiri sekitar 300 mahasiswa. Sebagai pembicara adalah Dr. Nasikun, Pdt. Joko Sutopo, Drs. Hairus Salim dan Munawar Ahmad Aziz, SH. (Jema’at Ahmadiyah).[74]
2.         Kegiatan Dialog
Kegiatan yang berkaitan dengan dialog antara lain “Dialog Pakar Islam” yang dielenggarakan IFIS di Jakarta tanggal 29 Juni 2000 dengan tema ”Membangun Umat Menuju Ummatan Wahidah : Menimbang Umat Islam Di Masa Depan”. Dialog yang dihadiri puluhan pakar Islam dari seluruh belahan bumi Indonesia ini bermaksud untuk membangun misi keumatan dalam menghadapi abad millennium ketiga. Dialog tersebut juga dimaksudkan untuk mencari solusi terhadap berbagai persoalan uang dihadapai umat Islam dan masyarakat Indonesia. Adapun urgensi ”Dialog Pakar Islam“ ini adalah karena sejumlah indikasi menunjukan keharmonisan hubungan internal umat Islam yang menjadi mayoritas penduduk Indonesia di tengah-tengah pluralitas suku, agama, dan ras berdampak positif terhadap pola kesadaran beragama masyarakat pada umumnya, terutama hubungan mayoritas-minoritas.[75] Dialog ini mengadirkan keynote speaker Mirza Taher Ahmad, Pemimpin Jema’at Ahmadiyah Internasional dan Prof. Dr. H. M. Amien Rais, M.A, Ketua MPR RI. Adapun para pembicara adalah Prof. Dr. Nurcholis Madjid, Dr. Bachtiar Effendi, Dr. Muslim Abdurrahman, Dr.M.M Billah, Dr. Masykuri Abdillah, Dr. Bambang Hermanto dan Drs. Masdar F. Mas‘udi.
Mirza Taher Ahmad sebagai keynote speaker menyampaikan materi berjudul “Islamic and the Prospect of Muslim Revival Considering Existernal Problems in 21th Century”. Dalam makalah tersebut dikemukan bahwa di abad 21, dunia cepat menjadi satu sebagai efek penemuan modern. Penyatuan ini melalui penyebaran Koran, pamflet, buku, dan juga melalui media lainnya seperti radio televisi, faksimili, asatelit, internet, dan e-mail. Islam akan dipengaruhi oleh semua dalam sisi negatif dan positif. Bentuk-bentuk media ini dimanfaatkan sebaik mungkin untuk mencermati dunia dan target utamanya adalah anak muda. Itulah yang terjadi di negara-negara maju dan berkembang.
Untuk melawan, dalam rangka menjaga Islam dari pengaruh buruk, dunia Islam agar memanfaatkan segala sarana media modern ini. Jema’at Muslim Ahmadiyah melakukan semua itu di seluruh dunia. Sebagai contoh, berkaitan dengan dunia media televisi, Jema’at Muslaim Ahmadiyah (MTA) dengan membuat sebuah model percontohan untuk diikuti oleh seluruh dunia Islam. Menurut Mirza Taher Ahmad, satu-satunya cara yang manjur untuk memunculkan kembali keindahan Islam di abad ke-21 adalah mencontoh apa yang dikembangkan Jema’at Muslim Ahmadiyah melalui MTA-nya dan tidak perlu menonjolkan perbedaan internal di antara kita. Kita seharusnya berusaha keras untuk mewujudkan superioritas Islam dengan perilaku yang baik sehingga nonmuslim pun tertarik. Akan tetapi, tujuan yang mulia ini tidak akan tercapai, kecuali dunia Islam bersatu di bawah satu naungan dengan melupakan semua perbedaan dan mengikuti ap yang diperintahkan Al-Qur’an dalam surat Al-Maidah ayat 3 :
“           “Saling tolong-menolonglah kamu dalam kabjikan dan takwa. Dan jangan tolong-menolong dalam keburukan dan dosa” (QS. Al Maidah : 3)

Di samping itu, mengadakan pertemuan besar intelektual Islam adalah sangat penting untuk mencari jalan dan tujuan dalam memerangi tantangan abad ke-21 agar kesadaran akan kebangkitan Islam tersebar ke seluruh dunia.[76]
Kegiatan berdialog yang lain adalah dialog Ramadhan Nasional tentang “Islam akan menang atas Dajjal”. Kegiatan ini diselenggarakan di Semarang pada tanggal 3 Februari 1997 atas prakarsa Forum Studi Islam Kritis (FSIK) Walisongo, Diponegoro. Sebagai pemakalah dalam dialog ini adalah MUnawar Ahmad Aziz, SH., dari Jema’at Ahmadiyah. Menurut Munawar, dewasa ini umat Islam Indonesia sedang menghadapi tantangan Dajjal, terutama berupa ideology Barat. Namun, umat Islam pasti akan menang karena Allah sudah berjanji akan menurunkan Imam Mahdi sebagai penakluk Dajjal. Ideologi Dajjal nantinya akan luluh seiring dengan munculnya sinar tauhid yang dibawa Imam Mahdi. Lebih lanjut, Munawar menyatakan bahwa Imam Mahdi akan membersihkan dunia yang digelimangi kotornya hawa nafsu dengan syari’at Islam sebagai system kehidupan yang sempurna dan mampu menjawab semua permasalahan kehidupan. Syari’at Islam tidak akan berubah sampai akhir zaman. Manusialah yang berubah, terutama karena manusia – disamping dikaruniai akal – juga diberi nafsu.[77]
3.         Kegiatan Buku
Buku tentang Filsafat Ajaran Islam adalah salah satu diantara karya Mirza Ghulam Ahmad yang mendapat perhatian sebagian kalangan intelektual muslim di dunia, termasuk di Indonesia. Buku ini semula merupakan makalah yang ditulis dalam bahasa Urdu oleh Mirza Ghulam Ahmad dengan judul “Islam Ushul Ki Filsafati” dan dibacakan dalam seminar agama-agama di kota Lahore pada tanggal 26, 27, 28 dan 29 Desember 1896. Kemudian naskahnya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk Indonesia. Perguruan Tinggi di Indonesia telah membedah buku ini. Tahun 1994, Keluarga Muslim Filsafat UGM menyelenggarakan diskusi tentang buku Filsafat Ajaran Islam di Gedung University Club Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Sebagai pembicara dalam diskusi ini adalah Drs. Suraya, MA (IAIN) dan Drs. Ali Abu Bakar Basamalah (Jema’at Ahmadiyah).[78]
Pada tahun yang sama, Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo di Surakarta bekerja sama dengan Jema’at Ahmadiyah Indonesia juga mengadakan bedah buku yang sama. Kegiatan ini berlangsung di Gedung Aisyiyah Surakarta. Bertindak sebagai pembicara adalah Mukhlis Ilyas, Drs. Ali Abu Bakar Basamalah dan Syaiful Muzani. Ketiganya dari Jema’at Ahmadiyah Indonesia. Di samping itu, juga ada pembicara dari staf majalah Ulumul Qur’an Jakarta.[79]
Kemudian dalam memperingati seabad karya Mirza Ghulam Ahmad, pada tanggal 6 Januari 1997, Jema’at Ahmadiyah Indonesia menyelenggarakan diskusi tentang Filsafat Ajaran Islam di Auditorium Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Buku ini dikaji para intelektual dan rektor perguruan tinggi besar Yogyakarta. Mereka memberikan presentasi antara lain Rektor UGM Prof. Dr. Sukanto Reksohadiprodjo, Rektor IKIP Negeri Yogyakarta Prof. Dr. Djohar MS, mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Ir. H. M. Dasron Hamid, MSc., Rektor Universitas Cokroaminoto (UCY) Djoko Prabowo Saebani, SH., dan Rektor Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Prof. Dr. Noeng Moehadjir.[80]
Menurut Sukanto Reksohadiprodjo, dengan membaca buku Filsafat Ajaran Islam manusia memiliki petunjuk lengkap untuk berperilaku karena didalamnya berisi apa yang tidak boleh, boleh, serta harus dilakukan manusia di dalam menjalani hidupnya di dunia ini. Dengan buku ini, manusia dapat menghayati bahwa kemiskinan itu memang tidak layak sehingga setiap orang harus mengembangkan diri dan berwawasan lingkungan agar sehat kehidupannya serta makin produktif mengembangkan pikiran pada pembangunan selanjutnya. Ia menambahkan bahwa kitab tersebut juga mengandung unsur dasar ekonomi yang didambakan orang dewasa ini, terutama tentang perlunya landasan akhlak, moral, dan etika yang baik sebagai manusia yang berperilaku ekonomi.[81]
Senada dengan Sukanto, Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Dasron Hamid menyatakan, lewat buku Filsafat Ajaran Islam, Mirza Ghulam Ahmad telah memberikan jawaban tentang tujuan sebenarnya hidup manusia di dunia beserta cara untuk mencapainya. Dari ajaran Mirza Ghulam Ahmad inilah, kita melihat bahwa Jema’at Ahmadiyah memiliki semangat yang sangat tinggi dalam mewujudkan nilai-nilai akhlak dalam kehidupan umat manusia.[82]
Djoko Prabowo Saebani menilai bahwa buku Filsafat Ajaran Islam karya Mirza Ghulam Ahmad berisi analisis filosofis yang tajam tentang manusia sebagai tema utama. Analisis tersebut memadukan ketajaman rasional dan kebeningan jiwa yang dilandasi iman yang kuat kepada ajaran Islam.[83]
4.         Penerjemah Al-Qur’an ke dalam 100 Bahasa
Organisasi yang dikenal mempunyai perhatian serius terhadap kajian Al-Qur’an melalui penerjemahan adalah Ahmadiyah, khususnya Ahmadiyah aliran Qadian. menurut Kolonel Muhammad Lius Maala, Amir Jema’at Ahmadiyah Indonesia (JAI), Ahmadiyah sekarang ini sedang menggarap proyek terjemahan Al-Qur’an dalam 100 bahasa. Proyek penerjemahan ini adalah proyek jangka panjang. Idenya semula direncanakan untuk memperingati perayaan 100 tahun Jema’at Ahmadiyah yang berdiri pada tahun 1889 di Qadian, India. Pada tahun 1974, Khalifatul Masih III, Mirza Nashir Ahmad, merencanakan agar menjelang seabad usia Ahmadiyah diharapkan seluruh jema’atnya pandai membaca Al-Qur’an dan mempelajari terjemahannya.
Proyek ini juga dimaksudkan untuk kepentingan tersebarnya Islam ke seluruh dunia. Gagasan ini lalu direalisasikan Khalifah IV, Mirza Tahir Ahmad dalam bentuk proyek penerjemahan Al-Qur’an dalam 100 bahasa. Bahasanya dipilih, khususnya disesuaikan dengan bahasa bangsa atau suku Jema’at Ahmadiyah berasal.[84]
Adapun rujukan utama yang dijadikan standar penerjemahan ke dalam 100 bahasa adalah The Holy Qur’an, Arabic Text and English Translation and Commentary yang diedit Malik Ghulam Farid (awalnya berbahasa Urdu) dan satu lagi diedit Maului Sher’Ali dengan judul yang sama. Letak perbedaannya, jika yang pertama disertai catatan dan komentar, yang kedua hanya berupa ayat-ayat Al-Qur’an dan terjemahannya”.[85]
Menurut Suyuti Aziz, wakil Jema’at Ahmadiyah Indonesia, Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Oleh karena itu, merupakan kewajiban bagi kaum muslimin untuk memahaminya. Mengingat kitab suci ini juga merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia, siapa pun boleh mengkajinya secara mendalam. Oleh karena Al-Qur’an berbahasa Arab, terjemahannya dalam berbagai bahasa akan dapat mempermudah orang yang ingin memahaminya sesuai dengan bahasanya sendiri.[86]
Pada tahun 1992, telah terbit terjemah Al-Qur’an dalam 45 bahasa.[87] Sekarang ini, Al-Qur’an telah selesai diterjemahkan dalam 56 bahasa dari 100 bahasa yang ditargetkan, antara lain bahasa Cina, Jerman, Belanda, Perancis, Jepang, Korea, Thailand, Bahasa-bahasa Afrika, Malaysia, Indonesia, Sunda, dan Jawa. Bahkan, menurut Munawar Ahmad Aziz, SH., seorang wartawan Muslim Television Ahmadiyah (MTA) di Indonesia, saat ini Ahmadiyah telah selesai mencetak terjemahan Al-Qur’an dalam 64 bahasa dari 100 bahasa yang ditargetkan.[88] Terjemahan Al-Qur’an itu sebagian besar diterbitkan Islam Internasional Publication Ltd. London.[89]
Selain menerjemahkan Al-Qur’an secara lengkap 30 juz, Ahmadiyah aliran Qadian telah menerbitkan surat-surat pilihan dari Al-Qur’an. Hingga kini penerjemahannya telah menjangkau 126 bahasa, baik bahasa nasional ataupun bahasa daerah suatu bangsa. Untuk Indonesia, selain diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, petikan kalam Allah itu juga diterjemahkan dalam bahasa Bali, Jawa, Sunda, dan Batak. Kini, Al-Qur’an yang telah diterjemahkan dalam ratusan bahasa itu telah tersebar luas melalui perwakilan-perwakilan Ahmadiyah di segenap penjuru dunia.[90]
Proyek penerjemahan Al-Qur’an Jema’at Ahmadiyah tersebut bukan merupakan langkah pertama kali dilakukan. Sebagai contoh, terjemahan karya Maulana Muhammad Ali, Presiden Anjuman Ahmadiyah Isha’ati Islam yang berpusat di Lahore, The Holy Qur’an, Arabic Text and English Translation and Commentary. Rujukan utama Ahmadiyah aliran Lahore ini terbit pada tahun 1918 dan direvisi tahun 1951. Tafsir Al-Qur’an karya Maulana Muhammad Ali ini juga telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa JAwa pda tahun 1920 dan Bahasa Indonesia pada tahun 1939 – edisi revisinya terbit tahun 1971. Sementara itu, Al-Qur’an aliran Qadian terjemahan yang diedit Malik Ghulam Farid telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan terbit tahun 1947.[91]
Menurut Amir Nasional, Muhammad Luis Maala, terjemahan Al-Qur’an yang menjadi rujukan penting Jema’at Ahmadiyah Indonesia itu pernah diterjemahkan secara utuh ke dalam Bahasa Indonesia. Edisi tersebut diterbitkan penerbit Widjaja dan dijadikan pegangan umum Departemen Agama RI. Pengantarnya pun diambil dari pengantar terjemahan Ahmadiyah.[92]
Contoh lain, karya Abdullah Yusuf Ali The Holy Qur’an : Text, Translation and Commentary. Terjemahan yang cukup terkenal di dunia Barat dan Timur ini pertama kali terbit pada tahun 1954 dan sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk dalam Bahasa Indonesia yang diterbitkan Pustaka Firdaus.[93]
5.         Muslim Television Ahmadiyah (MTA)
Jema’at Ahmadiyah di bawah kepemimpinan Mirza Taher Ahmad – Khalifah Ahmadiyah IV yang sekaligus menjadi pemimpin ruhani tertinggi Jema’at Ahmadiyah – selain mempunyai program terjemahan Al-Qur’an dalam 100 bahasa, juga membuat program penyiaran televisi muslim pertama di dunia. Program ini telah terwujud mulai tahun 1994 dengan nama Muslim Television Ahmadiyah (MTA). MTA merupakan sebuah stasiun milik Ahmadiyah aliran Qadian yang sangat unik dalam segala seginya. Ia merupakan saluran televisi muslim pertama di dunia yang sepenuhnya dijalankan tenaga-tenaga dari Jema’at Ahmadiyah sendiri secara sukarela. Misi yang hendak dicapai adalah menyebarluaskan tauhid Ilahi ke seluruh pelosok dunia.
Stasiun MTA merupakan stasiun TV gratis yang tidak memerlukan kartu bayaran jenis apapun. MTA disiarkan dalam 7 macam bahasa di dunia secara stimulant. Tujuh bahasa yang dimaksud adalah Inggris, Urdu, Arab, Bengali, Perancis, German, Bosnia dan Turki. Keunikan lain dari stasiun MTA adalah siarannya mengudara selama 24 jam terus menerus dan sekarang dapat dilihat tayangannya dengan menggunakan sistem digital.
Meskipun MTA International memulai siaran sejak 1994, siaran televisi ini dapat ditangkap secara global mulai tahun 1996. Siaran Internasional MTA tahun 1996 didukung 4 (empat) satelit dan mampu menjangkau kawasan Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Afrika, Amerika Selatan, dan Asia Pasifik. Wilayah Indonesia memperoleh bagian dari pancaran satelit stasioner 7 yang jangkauannya meliputi wilayah Asia-Pasifik, termasuk Timur Tengah, Eropa Timur dan Afrika Utara dengan frekuensi 3725 Mhz. Tiga satelit lainnya, adalah Eutelsat (wilayah Eropa), Stasione 4 (Afrika Selatan dan Amerika Selatan) dan Galaxy 2 (Amerika Serikat dan Kanada). Pada tahun 2000 siaran internasional MTA mengalami perkembangan, yakni didukung dengan 6 satelit dan 9 bahasa.[94]
MTA memiliki studio di berbagai belahan dunia yang secara kontinu memberikan sumbangan acara bagi MTA sebagai cirri khas siaran internasional yang berpusat di London, Inggris. Studio yang dimaksud adalah MTA Germany, MTA Canada, MTA Bangladesh, MTA Australia, MTA Pakistan, MTA United State of America dan MTA Indonesia. Studio pendukung MTA di Indonesia bermarkas di Parung, Bogor, Jawa Barat.[95]
Diantara program siaran MTA internasional antara lain Friday Sermon (siaran langsung Khotbah Jum’at), Al-Qur’an Teaching, Hadits Teaching, Islam News, Islam Teaching, Language Teaching (pelajaran bahsa Arab, Urdu, Cina, Inggris, Norwegia, dan lain-lain), Liqa’ma’al’Arab (Tanya jawab dengan orang Arab), Women Corner (siaran khusus wanita) dan Children Corner (siaran khusus anak-anak).[96]


D.                Kharakateristik Gerakan Ahmadiyah.
            Di samping sebagai faham, Ahmadiyah juga sebuah gerakan Islam yang lain. Ahmadiyah mempunyai ciri-ciri secara umum dan juga mempunyai ciri khusus sebagai faham dan gerakan Islam Di antara ciri-ciri secara umum antara lain :
a.                   Keinginan untuk menyebarkan Islam ke seluruh dunia.
b.                  Menjadikan al – Qur’an sebagai pedoman hidup
c.                   Mengedepankan akhlakul karimah dalam kehidupan sehari-hari
d.                  Mengakui nabi Muhammad sebagai nabi umat Islam.
Adapun cirri secara khusus yaitu :
a.                   Penekanan pada aspek-aspek spiritualisme Islam
b.                  Ajarannya Mahdiisme
c.                   Pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabinya yang terakhir.

1 komentar:

  1. Tulisan ini kebanyakan Copy paste dari buku "Gerakan Ahmadiyah di Indonesia" karya Iskandar Zulkarnaen. Bisa dikategorikan Plagiarisme.

    BalasHapus