PENDIDIKAN SWASTA DALAM SISDIKNAS
A. Latar Belakang
Menurut Ahmad Syafi’I” kelemahan dan kerapuhan suatu Negara salah satu faktor penyebabnya adalah rapuhnya fondasi intelektual dalam bidang pendidikan.”[1] Ketika pendidikan maju, masyarakat, bangsa dan negaranya akan maju dan sebaliknya. Pendidikan mempunyai arti penting dalam kehidupan.
Pendidikan menurut Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan priritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan Negara.[2] Undang – Undang Sisdiknas tersebut memberi kesempatan yang luas bagi masyarakat atau kelompok masyarakat untuk berpartisipasi dalam membangun dunia pendidikan di Indoneesia. Keberhasilan suatu pendidikan tidak luput dari peran serta masyarakat.
Kemudian muncullah istilah jalur pendidikan formal, informal dan non formal. Dimana ketiganya mempunyai andil yang besar dalam ikut mensuksessan tujuan Negara RI yang salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Akhirnya muncul pendidikan (sekolah/madrasah) yang dikelola oleh pemerintah (negeri) dan sekolah/madrasah yang dikelola oleh masyarakat/kelompok masyarakat (swasta).
Dari kedua istilah ini pula kemudian menimbulkan dikotomi yang nampak dalam hal pengelolaan anggaran, kwalitas serta pandangan masyarakat yang terkadang miring (kurang baik) terhadap pendidikan yang dikelola oleh swasta.
Pemerintah yang punya otoritas kekuasaan dalam pendidikan , ternyata langkah-langkah yang ditempuh masih jauh dari yang kita harapkan. Meskipun membuat kebijakan dengan lahirnya Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 yang sudah tidak lagi membedakan pendidikan negeri maupun swasta.
Namun dalam kenyataanya masih banyak sekolah-sekolah yang penyebutan dengan nama sekolah negeri dan swasta, dengan alokasi anggaran rutin dan tenaga kependidikan yang diberikan oleh pemerintah yang berbeda. Dari dikotomi dan diskriminasi itulah kemudian berimplikasi pada perbedaan akan keberadaan dan mutu sekolah/madrasah yang dikelola oleh masyarakat/kelompok masyarakat (swasta). Padahal apabila kita kaji lebih jauh Lembaga Pendidikan (sekolah dan madrasah) swasta merupakan lembaga pendidikan yang tertua dan pertama di Indonesia. Pendidikan swasta sangat berperan besar dan menunjukkan kesetiaan/loyalitasnya yang tinggi terhadap tujuan Negara RI yaitu ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.
Perlakukan pemerintah yang kurang adil inilah kemudian menimbulkan kritikan dan legitiminasi akan UU Sisdiknas No. 20 tahun 3003. Padahal kalau kita cermati isinya menyebutkan tidak ada perbedaan antara pendidikan negeri ataupun swasta dalam segala hal. Namun dalam kenyataanya lembaga pendidikan swata sangat terpinggirkan dan terjadi diskriminasi. Karenanya perlu diadakan evaluasi tentang isi dari UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 yang menjelaskan tentang keberadaan pendidikan swasta tersebut. Dalam hal ini penulis membuat tiga rumusan masalah yaitu : kronologis pendidikan swasta, pendidikan swasta dalam UU Sisdiknas No.20 tahun 2003, kebijakan pemerintah terhadap lembaga pendidikan swasta.
B. Sejarah Pendidikan Swasta di Indonesia.
Pendidikan swasta adalah lembaga pendidikan yang dibagun dan dikelola oleh masyarakat atau kelompok masyarakat. Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga,organisasi propesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.[3] Keberadaan lembaga pendidikan swasta sangat membantu sekali pada masyarakat untuk memenuhi hajat kehidupannnya terutama akan ilmu pengetahuan. Pendidikan swasta teman sejawat (mitra) kerja bagi pemerintah untuk berperan mensukseskan tercapainya tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa yang cerdas inilah yang nantinya dapat membangun dirinya sendiri ,masyarakat dan bangsanya.
Ditinjau dari aspek sejarah keberadaan pendidikan swasta ada jauh Indonesia belum merdeka, bahkan dapat dikatakan masa kerajaan-kerajaan pendidikan ini sudah ada walaupun bentuknya tidak formal (sekolah/madrasah). Bentuknya masih sederhan sekali, seperti pesantren ,atau (semisalnya). Mengenai pesantren Mohammad Tholhah Hasan memberi definisi; pendidikan non formal, yang bertujuan utama menyelenggarakan pendidikan agama (tafaqquh fid-diin), yang memberikan pendidikan kepada masyarakat agar mampu menjadikan dirinya sebagai “khoiru7 ummah” yaitu ummat yang baik.[4] Keberadaannnya yang sederhana itu ternyata tidak mengurangi eksistentinya dalam mencetak generasi (out put) yang handal yang mempunyai watak dan kepribadian serta menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan. Bahkan sampai era kini pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan dan keilmuan selain mengajarkan pendidikan agama, juga menjadi motivator (pendorong), dinamisator (penggerak) dan Inovator (pembaharu) dalam kehidupan masyarakat.
Memasuki masa penjajahan keberadaan pendidikan swasta ternyata tidak surut, bahkan keberadaannnya semakin eksis. Hal ini terinspirasi pada kebijaksanaan Pemerintah kolonial Belanda yang menerapkan polotik etis (balas budi) diantaranya dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan (sekolah) negeri atau milik pemerintah. Walaupun selain tujuan yang dimaksud diatas Pemerintah Kolonial mempunyai tujuan lain, yaitu untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja trampil/terdidik dengan cost yang murah. Bentuk sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial ini bersifat netral yaitu tidak mencampur adukkan antara pendidikan dan agama (ada pemisahan). Kebijaksanaan inilah yang kemudian diikuti oleh organisasi-organisasi sosial keagamaan, seperti Muhammadiyah, NU (Ma’arif) dan Katolik, Kristen (orang –orang asih/penjajah) untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dengan misinya masing-masing. Ormas yang tidak bersifat keagamaan pun tidak kalah, mereka mendirikan lembaga pendidikan umum yang netral, seperti sekolah Kartini, taman siswa. Lembaga Pendidikan swasta ini semakin eksis ketika ada kebijaksannaan dari salah satu Gubernur Hindia Belanda yang benama Van Husz untuk memberikan subsidi kepada lembaga pendidikan swasta dengan syarat mereka mau mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial dan tidak menggangu ketertiban umum. Sehingga lembaga pendidikan swasta dapat berekspresi dan mengembangkan dirinya kearah yang lebih maju.
Namun pada masa penjajahan Jepang kondisi lembaga pendidikan swasta sangat memprihatinkan bahkan mengalami stagnasi, karena adanya larangan sekolah swasta sampai pada level-level tertentu (menegah). Semua lembaga pendidikan swasta kecuali yang kejuruan harus diserahkan kepemilikan dan pengelolaannnya kepada pemerintah Jepang. Pemerintah Jepang berusaha dengan kekuasaannya untuk mengambil alih segala bentuk kegiatan kependidikan dengan maksud supaya para pemuda tidak menyibukkan diri dengan pendidikan, tetapi membantu perjuangan Jepang dalam perang Asia timur Raya yang semakin lama semakin terdesak. Setelah Indonesia merdeka, lembaga pendidikan swasta (sekolah dan madrasah) mulai nampak ada perubahan yang sangat besar. Legitimasi Konstitusi UUD 1945 pada Pembukaannya antara laian menyebutkan salah satu tujuan Negara RI mencerdaskan kehidupan bangsa, dan pada Batang Tubuh UUD pasal 31 tentang pendidikan, mengilhami keinginan lembaga pendidikan swasta untuk turut serta berpartisipasi mengisi kemerdekaan Indonesia dengan pembangunan dibidang pendidikan mulai tampak nyata. Sekolah/madrasah swasta yang sebelumnya tidak maksimal mulai dengan berani menampakkan taring identitasnya masing-masing dan idealisme yang tinggi dalam konstribusinya terhadap kemajuan bangsa. Sinergi antara lembaga pendidikan yang dikelola oleh pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan swasta berjalan harmonis sehingga menghapuskan istilah dikotomi antara sekolah milik pemerintah dan swasta.
Semarak lembaga pendidikan swasta pada masa awal kemerdekaan ini tercermin dari sikap pemerintah saat itu yang tidak banyak membedakan antara pendidikan yang dikelola oleh pemerintah dan swasta. Diantara sikap pemerintah saat itu yang tidak bersikap diskriminatip antara lain , ijazah yang diakui sama, dibolehkannya siswa-siswa dari sekolah swasta pindah atau melanjutkan belajarnya ke sekolah pemerintah. Bahkan pada tahun 1950-an pemerintah menerapkan kebijaksanaan sekolah swasta dapat menerima subsidi dari pemerintah untuk pembiayaan sekolah sesuai dengan syarat-syarat atau aturan yang telah ditetapkan oleh aturan pemerintah.
C. Pendidikan Swasta Dalam UU Sisdiknas No.23 tahun 2003.
Perhatian pemerintah terhadap pendidikan swasta cukup besar terbukti adanya instruksi untuk mendirikan pendidikan swasta yang sebanyak-banyaknya dan pemerintah bertanggungjawab dalam bantuan (subsidi) berupa finansal maupun tenaga pengajar, juga tidak membedakan antara pendidikam negeri dan swasta. Semisal banyak guru yang notabennya pegawai pemerintah (PNS) diperbantukan disekolah swasta, banyak dana yang diperbantukan, kesejahteraan guru juga dipikirkan. Akan tetapi muncul suatu pertanyaan, apakah imbang sesuatu yang dikeluarkan pada pendidikan negeri dengan pendidikan swasta?
Lahirnya UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 tentang sisdiknas tak jauh berbeda dengan UU sebelumnya ( UU No. 2 tahun 1989 ). Pendidikan swasta secara eksplisit tidak tercantum dalam UU baru ini, sehinga keberadaan pendidikan swasta dianggap oleh sebagian orang misterius atau tidak jelas.[5] Memang UU ini memberi peluang yang sejajar (sama) kepada setiap warga Negara Indonesia untuk belajar dan menyelengarakan usaha pendidikan. Seperti tercantum dalam bab 1 pasal 1 ayat 3 yang menjelaskan bahwa “ Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional”[6] Namun pada kenyataannya banyak komponen yang terabaikan, hal tersebut hanya bersifat teoritis belaka. Banyak sekali diskriminasi yang dilakukan oleh penyelenggara pendidikan (diknas) terhadap pendidikan swasta . Yang pada akhirnya muncullah hubungan yang tidak harmonis (tidak sehat) antara pendidikan negeri yang dikelola oleh pemerntah dengan lembaga pendiidikan swasta yang dikelola yayasan atau masyarakat. sehingga dikotomi diantara dua lembaga pendidikan tersebut.
Hasil penelitian ADB (Asian Development Bank) dan UHK (The University of Hongkong) tentang system pendidikan Nasional kita, memperparah kondisi dan posisi riil pendidikan swasta. Penelitian ini membuktikan adanya diskriminasi terhadap lembaga pendidikan swasta, terutama dalam hal tenaga kependidikan dan anggaran, yaitu dana penyelenggaraan (recurrent budgets ) dan dana pengembangan ( development budgets ) . Untuk SLTP misalnya , siswa sekolah negeri yang siswanya mencapai 4.684.000 mendapat bantuan penyelenggaraan sebesar 1,760 milyar, sedang pada siswa sekolah swasta yang mencapai 2.262.000 mendapat bantuan dana penyelenggara 29 milyar. Sehingga nominal yang didapat siswa sekolah negeri adalah 376 ribu rupiah, sedang siswa sekolah swasta nominalnya hanya 21 ribu rupiah. Contoh ini jelas-jelas membuktikan terjadinya diskriminasi, sehingga tidak salah ketika sarpras dan kwalitas sekolah swasta pada umumnya dibawah sekolah negeri.[7] Contoh lain ketidak adilan pemerintah yaitu tentang :
1. Legitimasi Sekolah.
Pendidikan swasta yang dikelola masyarakat harus mengalami beberapa tahapan agar sejajar dengan pendidikan negeri yaitu : terdaftar, diakui, disamakan, terakreditasi.
2. Peserta Didik dan Tenaga Kependidikan
a. Peserta Didik
- UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 bab 4 pasal 5 ayat 1 dijelaskan bahwa” setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”.[8] Akan tetapi pada kenyataanya anak-anak yang inputnya kurang mampu tidak bisa melanjutkan pendidikan pada sekolah yang berkwalitas. Yang akhirnya kwalitas pendidikan swasta dari tahun ke tahun tidak meningkat.
- Bab 5 pasal 12 ayat 1bagian c, yang menjelaskan bahwa “ Setiap peserta didik berhak mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.”[9] Bagaimana mungkin anak-anak disekolah swasta dapat merasakan beasiswa ?, dari inputnya saja mayoritas sudah buangan dari sekolah – sekolah yang bermutu, sedangkan ekonomi mereka mayoritas dari keluarga kurang mampu. Nah, inilah yang menimbulkan ketikdak adilan bagi anak.
b. Tenaga Pendidik dan Kependidikan
- Kesejahteraan
Pendidik dan Tenaga kependidikan antara pendidikan negeri dengan pendidikan swasta mempunyai kewajiban yang sama yaitu tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alenia 4.( mencerdaskan kehidupan bangsa ). Akan tetapi hak mereka untuk mendapatkan kesejahteraan sama sekali belum memadai dengan kewajiban yang dilakukan. Terkadang upahnya dibawah UMR daerah setempat.
- Kwalitas pendidik Kwalitas guru yang ada pada sekolah negeri dan swasta jauh berbeda. Banyak kita jumpai pada sekolah swasta masih ada guru yang belum mempunyai ijasah atau sertifikat guru. Pemerataan guru negeri pada sekolah swasta belum memadai.
3. Sarana dan Prasarana
Didalam bab XII pasal 45 ayat 1,2, dijelaskan bahwa setiap satuan pendidikan formal atau nonformal harus menyediakan sarpras untuk memenuhi keperluan pendidikan.[10] Akan tetapi jika kita lihat apa yang terjadi pada sekolah swasta yang semuanya serba kekurangan. Nah, disini pemerintah hanya melihat sebelah mata tanpa berpikir jauh tentang keadaan sebenarnya. Sarana yang dimiliki pendidikan negeri lebih komplit: gedung, fasilitas sekolah, ATK dan lain-lain ketimbang pendidikan swasta.
4. Anggaran
Berdasarkan bab XIII bagian I pasal 1,2,3 dan bagian 2 pasal 1,2,3, menjelaskan bahwa anggaran pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat, namun kenyataanya sekolah-sekolah swasta anggaran yang digulirkan tidak seimbang dengan sekolah-sekolah negeri.[11] Bahkan ada yang sama sekali tidak mendapat bantuan dari pemerintah. Bagaimana keberadaan pasal tersebut, masih layakkah dipertahankan ?
Memang pemerintah menggulirkan Dana Bantuan Operasional Sekolah (DBOS) pada sekolah sekolah termasuk sekolah swasta yang sedikit banyak dapat mengangkat kesjahteraan pendidikan swasta, tetapi bantuan yang ada semakin menggeneralisasikan bahwa inilah suatu kebijaksaan yang konyol. Sekolah-sekolah pemerintah yang sudah maju banyak muridnya masih mendapat bantuan serupa, sedangkan sekolah swasta yang muridnya sedikit malah tidak mendapat bantuan dengan alas- an tidak memenuhi syarat-syarat yang ada. Ini adalah suatu kebijaksanaan yang membunuh secara tidak langsung terhadap sekolah swasta. Belum lagi dana jaringan sosial sebagai kompensasi atas kenaikan BBM yang diperuntukkkan bagi siswa miskin. Pemerintah memberi jatah prosentase siswa yang mendapatkan berdasarkan banyaknya murid pada sekolah yang bersangkutan, bukan berdasarkan usulan dari sekolah-sekolah yang bersangkutan ,yang siswanya benar-benar membutuhkan. Akibatnya banyak sekolah negeri yang favorid yang notabenya in put mereka dari kalangan menengah keatas dalam soal ekonomi mendapat jatah banyak, bahkan sampai muntah , sedangkan ada sekolah yang mayoritas siswanya dari keluarga miskin hanya mendapatkan kwota sedikit.
Dengan demikian keberadaan Undang-Undang sisdiknas nomor 23 tahun 2003 berupa hayalan / idie – idie dan impian pendidikan tetapi belum mencapai sasaran yang ideal terutama menyangkut hal keadilan perlakuan antara pendidikan yang dikelola oleh pemerintah sendiri (negeri) dengan lembaga pendidikan yang dikelola oleh swasta baik dari subsidi pendanaan, kesejahteraan guru, kwalitas pendidikannnya.
Dengan berkaca pada keadaan yang ada seyogyanya pemerintah mengubah haluan kebijaksanaannya. Pemerintah jangan lagi membedakan antara lembaga pendidikan swasta dan negeri, tetapi harus ada perlakuan yang adil.
Achlan Husein ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS), melansir bahwa,”dalam Undang-Undang sisdiknas hanya disebutkan adanya sekolah negeri milik pemerintah dan lembaga pendidikan dengan partisipasi masyarakat yang konteknya tidak jelas”. Dengan demikian keberadaan sekolah swasta tiadak dihiraukan sama sekali dalam UU, meskipun secara eksplisit disebutkan dalam masalah peran masyarakat.[12]
Banyaknya hal-hal yang dirasa kurang bertindak adil (kurang memihak) pada lembaga pendidikan swasta dalam Undang-Undang Sisdiknas yang baru ini, membuat banyak pihak yang peduli tentang pendidikan mengkritik untuk perbaikan Undang.Undang ini. Antara lain yang disorot adalah pasal pasal 55 ayat 4 “ Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah”[13]. Kata dapat ini mengindikasikan seumpama pemerintah dengan keterbatasannya tidak memberikan bantuan apapun, maka tidak ada tuntutan secara hukum. Dalam hal ini dapat dianggap sebagai politik pemerintah untuk lari dari tanggung jawab terhadap pendidikan swasta. Ayat dalam pasal ini juga seakan-akan bertentangan dengan pasal sebelunya (pasal 46 tentang tanggung jawab pendanaan pendidikan). Dalam pasal ini dinyatakan :
(1). Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah Daerah, dan masyarakat.
(2). Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur Dallam Pasall 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(3). Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peeraturan Pemerintah.[14]
Secara terpisah , staf ahli Badan Standar Nasional Pendidiikan (BNSP) Prof.Ir. Eko Budihardjo, M.Sc. menilai kata “dapat” yang dipermasalahkan memang cukup rancu dan penuh ketidakpastian serta diskriminasi yang nyata disekolah negeri dan swasta. Perlu ada peninjauan kembali materi yang ada di dalamnya dan menyingkirkan ungkapan yang justru menyesatkan . Jadi kalau pemerintah niatnya tidak hanya negeri dan swasta, mestinya kata-kata “dapat” itu menjadi “akan” dan kalau perlu “wajib”, karena kita tahu di dalam pendidikan tidak bias semua ditangani oleh pemerintah.[15]
Perlakuan Pemerintah yang dianggap selama ini menganaktirikan lembaga pendidikan swasta ternyata membawa dampak yang sangat besar terutama dalam mutu pendidikan. Sekolah-sekolah swasta yang pingiran sulit sekali mengejar prestasi yang memadani karena kalah bersaing dengan sekolah-sekolah negeri yang semuanya serba tersedia. Sarana prasarana yang cukup , dana operasional, guru yang propesional bagi sekolah negeri tinggal mengajukan, sedangkan sekolah-sekolah swasta harus membanting tulang dan memutar otak dalam memenui kebutuhannnya. Sudah saatnya pemerintah menengok kembali perjalanan sejarah pendidikan di Indonesia. Dengan demikian diharapkan ada semacam balas budi dari peran atau sumbangan pendidikan swasta terhadap pemerintah selama ini.
Seiring dinamika perubahan zaman, keberadaan pendidikan swasta sekarang ini bernasib lebih baik dari sebelumnya. Diikotomi yang selama ini dirasakan, walaupun tidak sepenuhnya dapat dihilangkan, namun sudah semakin berkurang. Sekolah negeri maupun swasta sama-sama mendapatkan bantuan pemerintah walaupun masih belum maksimal. Mereka sama-sama diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan bantuan dana baik untuk pengembangan sarana fisik maupun kepentingan siswa secara langsung berupa bantuan Khusus murid (bagi keluarga yang tidak mampu), masih ada lagi bantuan beasiswa yang tidak membedakan antar siswa dari sekolah negeri maupun swasta. Juga pemberian kesempatan yang sama untuk mengembangkan prestasi baik yang sifatnya akademis maupun non akademis.
D. Kebijakan Pemerintah Terhadap Pendidikan Swasta
Kondisi riil pendidikan atau sekolah swasta diberbagai wilayah sebagain sangat memprihatinkan, mulai dari gedung, sarpras, dan tenaga kependidikannya mayoritas sebagai guru tidak tetap. Satu guru harus mengajar di beberapa kelas, bahkan diberbagai sekolahan. Kesenjangan sekolah negeri dan swasta seperti ini harusnya tidak perlu terjadi. Sesuai amanat UUD, negara sudah mengalokasikan 20% dari APBN untuk anggaran pendidikan. Ini bukan angka kecil. Berarti total anggaran pendidikan lebih dari Rp 200 triliun. Dengan dana sebesar ini, penyelenggaraan pendidikan harus bisa lebih baik. Karena itu, penggunaan dana pendidikan, hasil pajak seluruh rakyat ini, harus ditata dan dikelola dengan sebaik mungkin. Langkah-langkah yang harus diambil oleh pemerintah antara lain;
Pertama, mengkaji ulang UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 tentang pendidikan swasta. Kedua, pemerataan guru negeri untuk ditempatkan di pendidikan swasta secara bertahap, guru swasta diangkat menjadi PNS untuk ditempatkan sesuai permintaan dan kebutuhan dari pendidikan swasta itu sendiri.
Ketiga, meningkatkan kesejahteraan para guru, terutama gaji guru swata minimal harus standar UMR daerah setempat. Lahirnya Undang-Undang nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, di harapan dapat memberikan suasana baru akan peningkatan kesejahteraan bagi guru swasta. Dalam Undang –Undang itu setiap guru baik Negeri maupun swasta nantinya akan disertifikasi dan yang lolos akan mendapatkan tunjangan profesi. Sedangkan bagi guru PNS yang belum sertifikasi ada tunjangan nonsertifikasi yang besarnya Rp.250.000,- per bulan. Untuk guru swastapun ada tunjangan yang sama walaupun namanya berbeda.
Pertama, mengkaji ulang UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 tentang pendidikan swasta. Kedua, pemerataan guru negeri untuk ditempatkan di pendidikan swasta secara bertahap, guru swasta diangkat menjadi PNS untuk ditempatkan sesuai permintaan dan kebutuhan dari pendidikan swasta itu sendiri.
Ketiga, meningkatkan kesejahteraan para guru, terutama gaji guru swata minimal harus standar UMR daerah setempat. Lahirnya Undang-Undang nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, di harapan dapat memberikan suasana baru akan peningkatan kesejahteraan bagi guru swasta. Dalam Undang –Undang itu setiap guru baik Negeri maupun swasta nantinya akan disertifikasi dan yang lolos akan mendapatkan tunjangan profesi. Sedangkan bagi guru PNS yang belum sertifikasi ada tunjangan nonsertifikasi yang besarnya Rp.250.000,- per bulan. Untuk guru swastapun ada tunjangan yang sama walaupun namanya berbeda.
Keempat, memberikan bantuan fisik dan sarpras pada pendidikan –pendidikan swasta.
Kelima, menggulirkan DBOS sekaligus mengadakan pengawasan langsung dan serius dalam menagani masalah pendidikan dengan menjadikan pendidikan sebagai program unggulan di negeri ini.
Mudah-muahan kebijakakn pemerintah yang telah diambil dapat meningkatkan kesejahteraan baik sekolah maupun guru.
E. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan diatas dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Peran masyarakat sangat besar terhadap dunia pendidikan di Indonesia sebelum Negara ini merdeka sampai merdeka, pendidikan swasta merupakan lembaga pendidikan yang tertua ditanah air ini.
2. UU Sisdiknas No.23 tahun 2003 tentang pendidikan swasta harus dievaluasi kembali, karena ditemukan adanya diskriminasi dan ketidak adilan terhadap pendidikan atau sekolah swasta.
3. Perhatian (Kebijakan) Pemerintah terhadap pendidikan swasta masih jauh dari harapan.
4. Anggaran 20 persen dari pemerintah harus segera direalisasikan, agar mutu pendidikan menjadi meningkat sesuai dengan tujuan sisdiknas.
DAFTAR PUSTAK A
Imam Bawani, Segi-segi Pendidikan Islam, Surabaya, Al-Ikhlas, 1987 .
Undang-Undang Dasar 1945, disertai Amendemen 1, 2, 3 dan 4, Semarang, Dahara Prize, 2009.
Undang_undang Sisdiknas RI Nomor 20 tahun 2003, Jakarta Depdiknas RI, 2003
Masnuh ,Tajududin, Konsfigurasi Politik Pendidikan Nasional, Yogjakarta, Pustaka Fahima, 2007.
Tholhah Hasan, Moh, Islam & Masalah Sumber Daya Manusia, Jakarta, Lantarabora Press, 2003
http;//portal.muhajirien.org/index.php?option=com-content&view=article&id=169;dinamika-lembaga-pendidikan-swasta-di-indonesis-bagian-1&catid=59=pendidikan.
PENDIDIKAN SWASTA DALAM SISDIKNAS
MAKALAH
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MANDIDRI
MATA KULIAH : ANALISA KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM
DOSEN PENGAMPU : Prof.Dr. H. Abdurrahman Assegaf, M.Ag.
DISUSUN OLEH
SUMARNO, S.Pd.I
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
KONSENTRASI MINAT PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DISEKOLAH UMUM
PASCASARJANA UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
TAHUN 2010 / 2011
[1] Imam Bawani, Segi-segi Pendidikan Islam, ( Surabaya: Al-Ikhlas, 1987 ), hal. 13.
[2] Undang_undang RI Nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1, (Jakarta:Depdiknas RI, 2003), hal 6.
[3] Undang_undang RI Nomor 20 tahun 2003 pasal 54 ayat 1,2( Jakarta:Depdiknas RI, 2003), hal 47.
[4] Moh Tholhah Hasan, Islam & Masalah Sumber Daya Manusia, (Jakarta:Lantarabora Press, 2003) hal 282
[5] Ali Mahdi Amnur, Konfigurasi Pendidikan Nasional ( Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2007 ), hal. 165
[6] UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 Bab1 Pasal 1.Ayat 3. (Jakarta, Depdiknas RI, 2003), hal 6.
[7] http;//portal.muhajirien.org/index.php?option=com-content&view=article&id=169;dinamika-lembaga-pendidikan-swasta-di-indonesis-bagian-1&catid=59=pendidikan.
[8] UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 Bab4 Pasal 1.Ayat 1. Jakarta, Depdiknas RI, 2003, hal 12.
[9] Ibid. hal 15.
[10] UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 Bab XII Pasal 45.Ayat 1,2. Jakarta, Depdiknas RI, 2003, hal 40.
[11] Ibid, hal. 40-41.
[12] Tajududin Masnuh, Konsfigurasi Politik Pendidikan Nasional, (Yogjakarta, Pustaka Fahima, 2007), hal.165
[13] Undang_undang RI Nomor 20 tahun 2003, Jakarta , Depdiknas RI, , 2003, hal. 48
[15] http://suaramerdeka.com.
global sevilla school
BalasHapusglobal sevilla school
BalasHapus